Friday, January 17, 2020

Mengenal Teori Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Pariwisata



Partisipasi  masyarakat  adalah keikutsertaan,  keterlibatan,  dan kesamaan  anggota  masyarakat  dalam suatu  kegiatan  tertentu  baik  secara langsung  maupu  tidak  langsung,  sejak dari  gagasan  perumusan  kebijakan, pelaksanaan  program  dan evaluasi (Rubiantoro dan Haryanto, 2013). Partisipasi masyarakat merupakan dasar untuk menciptakan pariwisata berkelanjutan; masyarakat. Partisipasi memainkan peran penting dalam tahap perencanaan hingga implementasinya (Lind & Simmons, 2017).
Tujuan dari partisipasi masyarakat adalah agar masyarakat sadar bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan, dan mereka berhak mendapat manfaat dari pariwisata pengembangan yang telah mereka rencanakan (Tosun, 2000). Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dari proses perencanaan untuk pengambilan keputusan umumnya dianggap wajib (Chok, Macbeth & Warren, 2007).

Partisipasi, sumber gambar : http://www.arissubagiyo.com
Pendekatan partisipatif akan memungkinkan penerapan prinsip pariwisata berkelanjutan itu akan mengarahkan masyarakat menuju sikap positif dengan terciptanya upaya pelestarian sumber daya alam lokal dan dengan demikian pelestarian lingkungan (Tosun, 2006). Warga yang berpartisipasi dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata akan mendapat manfaat dalam bentuk peningkatan kualitas kehidupan pariwisata dan pelestarian lingkungan sekitarnya (Nicholas, Thapa & Ko, 2009). Dengan  adanya  partisipasi  masyarakat, pengembangan  desa  wisata  cenderung membawa  dampak  yang  positif  bagi masyarakat lokal (Hermawan, 2016a). Selain itu, manfaat yang akan mereka dapatkan adalah meningkatkan kepemilikan, meningkat pengembangan jejaring sosial, dan menanamkan apresiasi dan pemahaman yang lebih besar tentang nilai area lokal (Gursoy, Jurowski & Uysal, 2002; Tosun & Timothy, 2003).
Dalam kasus pariwisata pedesaan, kadang-kadang gagasan untuk menciptakan dan mengembangkan turis baru Daya tarik tidak selalu berpusat pada pemerintah. Menurut Lamberti et al. (2011), Gagasan untuk mengembangkan objek wisata baru terkadang berasal dari komunitas lokal itu sendiri. Beberapa warga yang merupakan pencetus ide pengembangan pariwisata disebut agen cosmopolitan, mereka memainkan peran penting dalam mempercepat pengembangan pariwisata lokal.
Agen kosmopolitan adalah penghuni berpengetahuan dan berpengetahuan luas yang mengambil inisiatif dan bertindak sebagai katalis dalam pengembangan pariwisata (Iorio & Corsale, 2014). Mereka juga membangun sosial modal untuk menciptakan ikatan dan memperkuat hubungan antara anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama (Jóhannesson, Skaptadóttir & Benediktsson, 2003). Di dalam partisipatif proses perencanaan, para pemangku kepentingan berkumpul untuk berdiskusi; mereka berbagi ide untuk dirumuskan tujuan bersama, menetapkan rencana bersama untuk melaksanakan rencana tersebut bersama-sama (Nicolaides, 2015; Araujo & Bramwell, 1999).
Proses selanjutnya adalah agar masyarakat membentuk komite koordinasi meningkatkan komunikasi, transfer pengetahuan dan keterampilan antara anggota masyarakat  (Beritelli, 2011). Hal ini dimaksudkan agar untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan dan upaya teknis di antara anggota masyarakat (Frisk & Larson, 2011) sehingga desa semakin menjadi rumah untuk "penduduk desa" (Ballesteros & Feria, 2016).
Arnstein  (1969)  menggambarkan partisipasi  masyarakat  sebagai  suatu pola  bertingkat  (ladder  patern)  yang tediri  dari  8  tingkat,  dimana  tingkatan paling  bawah  merupakan  tingkat partisipasi  masyarakat  sangat  rendah, menengah,  kemudian  tingkat  yang paling  atas  merupakan  tingkat  dimana partisipasi  masyarakat  sudah  sangat besar dan kuat.



Tangga Arnstein (1969), sumber https://www.ajhtl.com



Bagian  pertama Nonparticipan (tidak
ada partisipasi),  dari  Manipulation dan Therapy.  Pada bagian ini,  inisiator atau otoritas  yang  berkuasa  sengaja menghapus  segala  bentuk  partisipasi publik.  Pada  tingkat  Manipulation, mereka memilih dan mendidik sejumlah orang  sebagai  wakil  dari  publik. Fungsinya,  ketika  mereka  mengajukan berbagai  program,  maka  para  wakil publik tadi  harus  selau menyetujuinya. Sedangkan  publik  tidak  diberitahu tentang  hal  tersebut.  Pada  tingkat Therapy,  inisiator  sedikit  memberitahu kepada  publik  tentang  beberapa programnya  yang  sudah  disetujui  oleh wakil  publik.  Publik  hanya  bisa mendengarkan saja.
Bagian  kedua,  Tokenism (delusif) dengan  rentang  dari  Informing, Consultation dan  Placation.  Dalam Tokenism, otoritas  yang  berkuasa menciptakan  citra,  tidak  lagi menghalangi  partisipasi  publik.  Akan tetapi  kenyataan  yang  terjadi  berbeda, benar  partisipasi  publik  dibiarkan, namun  mereka  mengabaikannya  dan mereka tetap mengeksekusi  rencananya semula.  Ketika  berada  di  tingkat Informing,  inisiator  program menginformasikan  macam-macam program  yang  akan  dan  sudah dilaksanakan  namun  hanya dikomunikasikan  searah,  dan  public belum  dapat  melakukan  komunikasi umpan-balik  secara  langsung.  Untuk tingkat Consultation, inisiator berdiskusi dengan  banyak  elemen  publik  tentang berbagai agenda. Semua saran dan kritik didengarkan  tetapi  mereka  yang mempunyai  kuasa memutuskan, apakah saran dan kritik dari publik dipakai atau tidak.  Pada  tingkat  Placation,  inisiator berjanji  melakukan berbagai  saran  dan kritik dari publik,  namun mereka diamdiam menjalankan rencananya semula. Partnership, Delegated  Power dan Citizen  Control merupakan  jajaran tingkatan di bagian ketiga, yaitu Citizen Power (publik berdaya).
Saat partisipasi publik  telah  mencapai  Citizen Power, maka  otoritas  yang  berkuasa  sedang benar-benar mendahulukan peran public dalam berbagai  hal.  Saat  berada  pada tingkat  Partnership,  mereka memperlakukan publik selayaknya rekan kerja.  Mereka  bermitra  dalam merancang  dan  mengimplementasi  aneka kebijakan publik. Naik ke tingkat Delegated  Power,  mereka mendelegasikan  beberapa  kewenangan kepada  publik.  Contoh,  publik  punya hak  veto  dalam  proses  pengambilan keputusan.  Tingkat  tertinggi  yaitu Citizen  Control.  Pada  tingkatan  ini publik  lebih  mendominasi  ketimbang mereka  (otoritas),  bahkan  sampai dengan  mengevaluasi  kinerja  mereka. Partisipasi  publik yang ideal  tercipta di tingkat ini.
Baca artikel lengkap saya di : https://www.ajhtl.com

Friday, January 3, 2020

Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Pariwisata Jabal Kelor di Bantul

Partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam pengembangan pariwisata. Master Pland atau perencanaan pariwisata sebagus apapun, tidak akan pernah tercapai tanpa adanya dukungan dan partisipasi masyarakat. Andai saja sebuah proyek tetap dapat selesai dieksekusi, namun tanpa ada partisipasi masyrakat maka  pariwisata tersebut tetap diragukan keberlangsungannya.

Sebaliknya, meskipun sebuah destinasi dibangun dengan modal sedikit, namun dukungan serta partisipasi masyarakat sangat baik, proyek tersebut akan dapat jalan dan tetap survive, bahkan bisa berkembang menjadi destinasi wisata unggulan. Salah satu destinasi yang cukup berkembang adalah Wisata Puncak Sosok di Dusun Dadap Kulon, Desa Bawuran, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. 


Destinasi Puncak Sosok Jabal Kelor
Daya Tarik Jabal Kelor di Malam Hari, Sumber Tedi Kusyairi

Jabal Kelor merupakan destinasi wisata yang memiliki berbagai macam daya tarik, misalnya: Puncak Gebang, Puncak Sosok, dan sebuah jalur trek sepeda gunung di area perbukitan dengan kondisi jalan yang sempit dan terjal. Aktifitas yang ditawarkan di kedua puncak ini adalah melihat panorama alam dan menonton acara besar bersama. Selain itu, bagi para pecinta wisata olah raga dapat melakukan latihan balap sepeda gunung di Gebang Bike Park. 

Saya, mencoba untuk mempelajari terkait berbagai bentuk pertisipasi wisata yang terjadi di Jabal Kelor.  Bersama tim kecil yang terdiri dari rekan sejawat, Kami mencoba membuat identifikasi partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan destinasi wisata di Jabal Kelor.

Wawancara telah kami lakukan untuk mengetahui dan menganalisis keadaan pariwisata yang ada, mencari gambaran partisipasi masyarakat, bentuk-bentuk partisipasi masyarakat, serta capaian hasil dari partisipasi masyarakat. Informan kunci kami adalah ketua dan beberapa anggota Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS), kepala desa Bawuran, dan beberapa perwakilan masyarakat lokal.

Berikut hasil analisis partisipasi masyarakat dalam pengembangan dusun Dadap Kulon menjadi daya tarik wisata berbasis masyarakat saat ini dikenal dengan Jabal Kelor.

Masyarakat dalam Bentuk Buah Pikir (ide-ide)
Anggota masyarakat sering diajak pengelola berdiskusi mengenai pengembangan Jabal Kelor dari sudut pandang mereka, sehingga muncul berbagai ide kreatif dan secara tidak langsung, hal tersebut menambah rasa percaya diri para anggota. Sejak awal, warga mengikuti perubahan dusun Dadap kulon hingga menjadi sebuah destinasi wisata. Perkembangan Jabal Kelor telah memicu warga untuk membentuk organisasi sederhana dan sistem kepengurusan. Beberapa pemuda mengajak tetua desa untuk bermusyawarah membahas pengembangan Jabal Kelor dan menghasilkan organisasi yang disebutmasyarakat yang sadar wisata (POKDARWIS). Masyarakat juga bermusyawarah dan menyepakati pembangunan jalur trek sepeda gunung yang dibangun dari puncak Sosok sampai puncak Gebang. Menyepakati pembangunan jalur trek sepeda tersebut bukanlah hal yang mudah, karena harus menyatukan persepsi setiap warga yang lahan kebunnya dilewati sebagai jalur trek sepeda gunung. Selain hal tersebut, warga juga bermusyawarah untuk mengelola acara balap sepeda Kapolda Cup Bike Fest 2017 yang telah dilaksanakan pada 23 dan 24 Desember 2017.

Masyarakat dalam Bentuk Tenaga Fisik
Masyarakat paham betul bahwa jika tidak ada jalan yang layak, wisatawan tidak mau berkunjung ke sana dan masyarakat tidak dapat mengembangkan puncak Sosok. oleh karena itu, pengelola tidak mengalami kesulitan dalam mengerahkan warga untuk membuat fasilitas wisata seperti: meja dan kursi, lampu-lampu hias, membangun mushola, aula dan toilet.

Suatu kasus yang pernah terjadi di Jabal Kelor justru menjadi pelajaran bagi warga tentang kewajiban menciptakan suasana aman dan nyaman di sebuah daya Tarik wisata. Jabal Kelorpernah membuka jam kunjungan wisatawan selama 24 jam. Pada suatu malam, ada wisatawan yang meminum minuman alcohol, membuat kerusuhan di puncak Sosok hingga berseteru dengan para pengelola yang bertugas sebagai penjaga, sehingga wisatawan tersebut pun di usir dari Puncak Sosok. Setelah kejadian tersebut, para pengurus berdiskusi mengenai beberapa aturan seperti menetapkan jam kunjung wisatawan dan beberapa aturan yang tidak boleh dilanggar oleh wisatawan. Mengelola sebuah daya tarik wisata memang bukanlah hal mudah, terutama bagi warga dusun Dadap Kulon yang tidak tahu sama sekali tentang kepariwisataan. Kasus tersebut,telah memberikan pengalaman bagi warga, supaya mengelola Jabal Kelor lebih baik lagi dengan membuat beberapa aturan dalam pengelolaan dan bagi wisatawan. Partisipasi dalam edukasi terlihat dari upaya menciptakan keamanan, ketertiban, kebersihan, dan kenyamanan lingkungan Jabal Kelor yang dilakukan masyarakat sendiri berdasarkan pada pengalaman.


Partisipasi Masyarakat dalam Bentuk Harta Benda
Meski warga tergolong dalam ekonomi lemah, partisipasi harta benda yang dilakukan oleh warga ternyata tidak hanya sebatas sumbangan dalam bentuk uang sukarela. Pengelola dan warga bersama-sama menyepakatimenggunakan seluruh bantuan dana dari desa dan bantuan dana dari lembaga lainnya untuk membangun daya tarik wisata Jabal Kelor. Pengelola dan warga juga sepakat menggunakan seluruh pemasukan dari Jabal Kelor untuk membangun fasilitas dan atraksi tambahan. Masyarakat berharap bahwa dengan menggunakan seluruh dana yang ada, bisa membangun fasilitas yang lebih baik lagi, sehingga semakin banyak wisawatan maka akan semakin banyak pendapatan. Saat ini, hal tersebut merupakan usaha terbaik yang bisa dilakukan oleh warga.

Itulah berbagai bentuk partisipasi masyarakat yang terjadi di destinasi Jabal Kelor, untuk lebih jelas dapat membaca artikel lengkapnya disini

Friday, September 27, 2019

Loyality on ecotourism analysed through an approach using the factors of tourist attraction, safety, and amenities, with satisfaction as an intervening variable

Alhamdulillah...


My papers have been published "Loyalty on ecotourism Analysed through an approach using the factors of tourist attraction, safety, and amenities, with satisfaction as an intervening variable" in the African Journal of Hospitality, Tourism and Leisure, Volume 8, Number 5, 2019.

This paper tells the importance of tourist loyalty as an important factor that must be considered by the tourist destination manager to deal with destination management problems. The analytical method used is path analysis with Partial Least Square (PLS).

Loyality on ecotourism Analysed through an approach using the factors of tourist attraction, safety, and amenities, with satisfaction as an intervening variable
Gunung Api Purba Nglanggeran ecotourism
Source: https://www.alvarotrans.com
Our work is very useful for the community because it will help you solve problems on tourist loyalty, especially on ecotourism (Gunung Api Purba Nglanggeran).

This study proved that satisfaction is a significant variable which intervenes factors influencing tourist’s loyalty in Gunung Api Purba Nglanggeran ecotourism. Thus, the key is to develop the tourist’s loyalty by improving its independent variables or particular factors.
The most proven dominant influential factor toward satisfaction and loyalty in this study is a tourist attraction, presenting a positive correlation. This positive correlation implies that improving tourist attraction will raise tourist’s satisfaction up as well, which in turn will forge tourist’s loyalty. There are other determinant factors under examination as well, i.e. safety and amenities. However, those other determinant factors only have an impact on satisfaction and are not significantly proven to be able to foster tourist’s loyalty, either directly or through the medium of satisfaction. This phenomenon exists because supposedly the segment of tourists visiting Gunung Api Purba is people having adventurer characteristics and their number is high. Adventurer tourists are tourists who seek satisfaction from challenging experiences and tend to take the risk. The lack of impact of amenities toward loyalty is made possible because the tourists visiting Gunung Api Purba Nglanggeran see amenities as only supporting facilities for common tourism. Thus those tourists do not consider amenities as a factor to be loyal to a destination.

Managerial implications that can be derived from this research are described in the following:

Gunung Api Purba Nglanggeran development should focus on the development of ecotourism attraction of Gunung Api Purba Nglanggeran. Ecotourism management based on local resources and values have been proven to be effective in increasing the number of tourists. However, it should be noted that Gunung Api Purba Nglanggeran complex is an exclusive ecotourism attraction due to its location in a conservation zone. Ecotourism attraction is characterized by fragility, irreplaceability, and unrenewability. Accordingly, it is important for management to conserve nature. Managements also need to apply strict rules as a preventive measure against pillaging or vandalism by ill-mannered tourists.

From the marketing aspect, this research illustrates the importance of properly managing tourist’s satisfaction and loyalty via good ecotourism management.

Good ecotourism management can be developed through these steps: 
  1. Introducing ecotourism via its uniqueness as a selling point, which in marketing is known as product diversification
  2. Refining beauties by conserving and rearranging the complex as a point of interest, exposing the exotic nature of Nglanggeran
  3. Conserving the nature’s originality and natural characters by not making changes which exude a stark contrast with the surrounding environments, thus avoiding visual pollution or natural ecosystem damage
  4. Maintaining management which accommodates local cultures or locality and reflects them comprehensively in each of the introduction of the tourist attraction, increasing the value of selling of the destination.
Although there is no correlation between safety and tourist’s loyalty, safety assurance is an obligation that has to be put into realization by tourist destination managements, as issued by Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (Indonesian Law no. 10 the year 2009 on Tourism) and Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Indonesian Law no. 8 the year 1999 on Consumer Protections).

Amenities are proven to be not quite significant in affecting tourist’s satisfaction. They even have no correlation at all with tourist’s loyalty in Gunung Api Purba Nglanggeran. Thus, limiting the buildings of amenities is a prudent act to support natural conservation of Nglanggeran which harbours protected ecosystems and biodiversities. It is important to evaluate zones, determining in which zones amenities are allowed to build and which zones belong to the conservation core areas. Tourists should be notified of the divisions of zones and understand them.

Finally
Thank you to all parties for your full support to the research us.
Happy reading. Please enter.

Hary Hermawan at all.

Sunday, September 22, 2019

Mengapa Orang Berwisata?

Bagi saya pariwisata adalah suatu bahan perbincangan yang sangat menarik dan tidak akan pernah ada habisnya untuk didiskusikan. salah satu pertanyaan yang cukup sederhana namun cukup panjang untuk dijelaskan adalah pertanyaan berikut:

Mengapa orang berwisata?

Pertanyaan ini akan saya coba ulas dari sisi akademik pada artikel saya kali ini. untuk menjawab pertanyaan diatas terlebih dahulu harus dipahami apa itu pariwisata dan apa itu wisatawan.

Pariwisata

Mengapa Orang Berwisata?
Ilustrasi, sumber: pixabay.
Banyak sekali teori yang mencoba untuk mendefinisikan pariwisata, berikut saya sampaikan beberapa teori yang cukup populer.

Pariwisata adalah setiap kegiatan, peristiwa atau hasil yang timbul dari kunjungan sementara (tinggal jauh dari rumah) di luar tempat tinggal normal, dengan alasan apa pun (tujuan) (Leonard J. Lickorish dan Carson L. Jenkins, 1997). 
Pariwisata adalah aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh semntara waktu dari tempat tinggal semula ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah melainkan hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau libur serta tujuan-tujuan lainnya (Koen Meyers, 2009).
Kegiatan manusia yang melakukan perjalanan ke serta tinggal di daerah tujuan di luar lingkungan kesehariannya (World Tourism Organization).

Berikut saya mencoba membuat definisi saya sendiri :
Kunjungan sementara ke suatu tempat yang berbeda dari tempat biasanya tinggal untuk berbagai alasan tertentu, tanpa bertunjuan untuk mencari nafkah (Hary Hermawan, 2019).

Wisatawan

Wisatawan secara sederhana dapat diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang berwisata.

Mengapa orang berwisata?

Ada banyak teori yang mencoba menjelaskan alasan seseorang melakukan kegiaatan wisata, diantananya adalah: 

Teori Inversi (Graburn)

Teori inversi menyatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk sesekali keluar dari linkungan tempat biasanya tinggal ke lingkungan yang benar-benar baru dan berbeda maka dari itu pariwisata dapat terjadi. 
Atau sesekali manusia juga memiliki kecenderungan untuk keluar sebentar dari kebiasaan atau rutinitas ke rutinitas baru yang berbeda dalam waktu sementara. Untuk lebih jelasnya dapat memperlajari tabel berikut:

Teori Inversi
Teori Inversi, Sumber : Tourism Geography


Teori Motivasi (Iso-Ahola’s) - (Pull motivation vs Push motivation)

Teori berikutnya berasal dari Iso Ahola yang intinya menegaskan bahwa pada dasarnya seseorang melakukan kegiatan wisata didasari oleh dua faktor motivasi.  Faktor pertama  adalah faktor penarik (pull motivation) yang membuat seseorang melakukan perjalanan wisata. Faktor penarik berasal dari luar diri individu. Faktor ini melekat pada citra destinasi, contohnya: lansekap pemandangan alam yang indah, makanan di destinasi yang enak, fasilitas yang mewah dan lain sebagainya.
Faktor kedua adalah faktor pendorong (push motivation), faktor pendorong sesungguhnya berasal dari dalam diri individu sendiri seperti rasa jenuh atas rutinitas kerja atau suasana rumah, sehingga mendorong seseorang untuk berwisata.

Teori Karakter personal Individu (Plogs) – (Psychocentrics vs Allocentrics)

Dalam karyanya, Plog (1972) dan Fridgen(1990) telah mengembangkan tipologi wisatawanyang dibedakan menurut minat dan pola kunjunganwisatanya menjadi 2 jenis wisatawan, yaitu  Allocentric dan psychocentric.


  1. Allocentricmerupakan tipe wissatawan yanglebih menyukai tempat-tempat yang belum banyakdiketahui atau dijangkau orang lain, kegiatan yang bersifat menantang/ petualangan serta lebih suka  memanfaatkan fasilitas yang disediakan olehmasyarakat lokal.Sedangkan yang dimaksud wisatawan berkarakter
  2. PsychocentricAdalah wisatawan yanghanya mau mengunjungi destinasi wisata yang sudahmemiliki fasilitas penunjang yang langkap, ataustandar sesuai yang ada di daerah asalnya, wisatawan jenis ini lebih suka berwisata menggunakan jasausaha perjalanan dengan program yang sudah pasti.
  3. Ada kemungkinan juga wisatawan berkarakter antara  allocentric dan psychocentric, atau dapat disebut mid-centrics.
Untuk lebih jelas dapat memahami diagram berikut ini 

Teori Karakter personal Individu (Plogs)

Mengetahui berbagai alasan orang berwisata diatas sangat diperlukan bagi seorang perencana destinasi wisata, karena agar destinasi wisata laku makan destinasi yang dibangun harus menyesuaikan dengan karakter wisatawan yang ada. "Wisatawan yang datang siapa? karakternya seperti apa? butuh service bagaimana?"

Sunday, August 25, 2019

Hary Hermawan

Hary Hermawan

Tempat dan Tanggal Lahir: Sleman, 30 September 1990
Alamat                               : Bercak Bulu, Jogotirto, Berbah, Sleman,          
                                           : D.I.Yogyakarta
Email                                 : haryhermawan8@gmail.com
Hobby                                : Musik dan Anime

"Hidup itu tentang sejauh mana kita mampu berbagi, meskipun sedikit dan semampunya. Karena manusia memiliki kewajiban untuk menjadikan dunia ini lebih baik"

Pendidikan

  1. Magister Manajemen (Pariwisata) (M.M): Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta, Indonesia, Web: www.ustjogja.ac.id
  2. Sarjana Pariwisata (S.Par): Sekolah Tinggi Pariwisata AMPTA Yogyakarta, Indonesia, Web: www.ampta.ac.id
Pengalaman Kerja

  1. Dosen, Sekolah Tinggi Pariwisata AMPTA Yogyakarta, Tahun 2017-Sekarang, Web: www.ampta.ac.id
  2. Dosen, Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Bandung, Tahun 2015-2016, Web: www.bsi.ac.id
  3. Koordinator Food and Beverage, Jogja Expo Center, Tahun 2013-2014, Web: www.jogjaexpocenter.com
Karya Buku

  1. Pengantar Management Hospitality, Penerbit NEM: Pekalongan
  2. Geowisata: Perencanaan Pariwisata Berbasis Konservasi, Penerbit NEM: Pekalongan
Karya Artikel Penelitian
  1. Loyalty on Ecotourism, Link
  2. Geowisata: Solusi Pemanfaatan Kekayaan Geologi yang Berwawasan Lingkungan, Link
  3. Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Kepuasan Wisatawan serta Dampaknya terhadap Loyalitas: Studi di Ciater Spa Resort, Link
  4. Evaluasi Dampak Pariwisata Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Lokal, Link
  5. Strategi Pengembangan Kampung Batu Malakasari sebagai Daya Tarik Wisata Minat Khusus, Link
  6. Pengembangan Destinasi Wisata pada Tingkat Tapak Lahan dengan Pendekatan Analisis SWOT, Link
  7. Kajian Desain Keselamatan Berbasis Lokalitas Dalam Meningkatkan Kepuasan Wisatawan Terhadap Daya Tarik Wisata (Studi Kasus Gunung Api Purba Di Desa Wisata Nglanggeran), Link
  8. Pengaruh Daya Tarik Wisata, Keselamatan, dan Sarana Wisata Terhadap Kepuasan serta Dampaknya terhadap Loyalitas Wisatawan : Studi Community Based Tourism di Gunung Api Purba, Link
  9. Dampak Pengembangan Desa Wisata Nglanggeran terhadap Ekonomi Masyarakat Lokal, Link
  10. Dampak Pengembangan Desa Wisata Nglanggeran terhadap Sosial Budaya Masyarakat Lokal, Link
  11. Karya lainya dapat dilihat di profil google scholar saya atau Scopus Id saya 
Pengabdian Akademik
  1. Dewan Editorial Jurnal di Media Wisata, Penerbit: Sekolah Tinggi Pariwisata AMPTA, Yogyakarta, Indonesia
  2. Dewan Editorial Jurnal di Jurnal Abdimas Pariwisata, Penerbit: Sekolah Tinggi Pariwisata AMPTA, Yogyakarta, Indonesia
  3. Dewan Editorial Jurnal di Dinamisia, Penerbit: Universitas Lancang Kuning, Lampung, Indonesia
  4. Dewan Editorial Jurnal di Jurnal Pariwisata, Penerbit: Universitas BSI, Indonesia
  5. Dewan Editorial Jurnal di Jurnal Kajian Pariwisata, Penerbit: Ars University, Bandung, Indonesia
  6. Reviewer di Journal  of Tourism and Economic, Penerbit: Sekolah Tinggi Ekonomi Pariwisata API, Yogyakarta, Indonesia
Ingin belajar riset pariwisata? Klik Disini

Thursday, July 18, 2019

Manfaat dan Bahaya Media Sosial bagi Destinasi Pariwisata

Seiring kemajuan zaman dan teknologi membuat manusia semakin terkoneksi dan semakin dekat. Begitu pula dalam hal kemajuan sosial media, atau anak muda sering menyebutnya sebagai SOSMED. Melalui sosial media yang sangat canggih seperti instagram, facebook, twiter dan lainnya yang ada saat ini, informasi bisa menyebar dengan sangat cepat, seingga berita apapun dapat muncul dan dalam sekejab dibaca melalui sosial media.

Pura Lempuyang, Sumber: Tribunnews
Jika dikaji secara objektif, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya sosial ada sisi untung dan ruginya. Sisi keuntungan dari segi bisnis adalah sosial media dapat digunakan sebagai media promosi dengan jangkauan tidak terbatas, juga sebagai alat komunikasi pemasaran yang efektif serta efisiens. Namun sisi negatifnya, sosial media juga dapat dipakai oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk menyebar berita palsu (hoax), baik dengan disadari atau tidak sengaja.

Kesalahan yang disengaja seperti menyebar berita palsu sudah banyak dibahas orang lain. namun disini saya akan menjelaskan kesalahan pengguna media sosial yang tidak disengaja. Dalam pemasaran pariwisata kesalahan tidak sengaja adalah dengan memposting foto destinasi yang tidak sebenarnya di Media Sosial, atau memposting foto dengan tingkat editan yang terlalu dramatis, atau dengan berbagai trik lainya sehingga membuat orang sangat tertarik untuk berkunjung. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini di Pura Lempuyang Bali yang beritanya saya kutip langsung dari media  kompas.com berikut:

Seorang wisatawan mancanegara (wisman) Polina Marinova kecewa ketika berburu foto ke Pura Lempuyang di Kabupaten Karangasem, Bali. Bayangannya akan foto-foto cantik pengguna Instagram di gerbang Pura Lempuyang, ternyata hanyalah ilusi. Ia berpikir bahwa di area pura terdapat kolam atau genangan air untuk memantulkan bayangan para pengunjung yang berfoto di gerbang.

"Itu sungguh kelihatan luar biasa, tetapi tentunya di Instagram tidak ada satu pun orang yang menuliskan bahwa itu nyata. Jadi saya berasumsi ada air di sana," 

Nyatanya ketika sampai ke Pura Lempuyang, Marinova justru melihat jasa potret ilusi dengan cara menaruh cermin di bawah kamera smartphone. Sehingga pantulan pengunjung yang berfoto di Pura Lempuyang terlihat jelas.


"Bukti bahwa influencer Instagram merusak semuanya. Harapan dan mimpiku rusak ketika menemukan 'air' di Gerbang Surga sebenarnya adalah lapisan cermin di bawah iPhone," tulis Marinova di Twitter

Pendapat saya, "Walupun sangat mempesona toh foto tersebut bukan foto sebenarnya, sehingga wajar jika wisatawan kecewa, ingat dalam hal pengelolaan daya tarik wisata alam ataupun budaya keaslian dan otentisitas daya tarik adalah hal yang utama. Terutama bagi wisatawan-wisatawan mancanegara yang sudah sangat teredukasi dengan baik" (baca buku tentang teori daya tarik wisata)"


Pura Lempuyang Bali
Komplain Pura Lempuyang Bali, Sumber: kompas.com


Disini saya tidak menyalahkan pihak manapun, karena memang ini kesalahan tersebut tidak disengaja, atau akibat kurangnya pengetahuan pelaku usaha. Akan tetapi, memang hal tersebut bisa berdampak negatif, karena hal tersebut dapat membuat seakan-akan wisatawan ditipu, padahal mereka sudah datang jauh-jauh dari negara asalnya, namun tidak memperoleh seperti apa yang mereka bayangkan. Editing mungkin memang menjadi penting untuk mempermanis iklan dalam segi pemasaran. Akan tetapi, editing yang dilakukan jangan sampai terlalu berbeda jauh dengan kondisi aslinya.

Efek negatif media sosial lainya yaitu penyebaran berita yang menjadi tidak terbendung, tentu hal ini akan membuat wisatawan berbondong-bondong menuju destinasi karena tertarik dengan keindahan foto di media sosial. Tentu hal ini juga bisa menguntungkan jika bisa dikelola dengan baik, akan tetapi bisa juga menjadi sangat merugikan karena wisatawan masal yang datang tidak terkontrol akan membuat destinasi yang dikunjung menjadi rusak.  Masih ingat tentang kasus kerusakan daya tarik bunga amarylis di Gunungkidul yang pernah saya tulis? Jika belum, Anda masih dapat membacanya disini. Kasus ini dapat terjadi akibat pengelola destinasi wisata masih belum siap, karena memang pada dasarnya manajemen belum ada, apalagi bicara tentang carring capacity. Padahal, berita tentang keindahan bunga amarylis khas Gunungkidul ini sudah santer menjadi perbincangan di media sosial untuk menjadi destinasi yang wajib dikunjungi pada saat itu.

Efek seperti diatas, dapat menjadi lebih berbahaya jika yang kita kelola adalah destinasi wisata alam, karena sekali alam atau lingkungan yang rusak maka tidak pernah dapat diperbaiki seperti semula. Selain kerusakan alam, pertimbangkan juga kerusakan nilai sosial budaya bagi masyarakat, karena ini juga berbahaya. Keruskan nilai moral dapat terjadi akibat masyarakat lokal terpengaruh (meniru) budaya yang datang dari luar (budaya wisatawan), yang sesungguhnya tidak sesuai (pantas) dengan nilai sosial-budaya masyarakat lokal. Jadi, mari kita bijak dalam mengelola pariwisata, pastikan semuanya dapat kita kontrol dan dimajamen dengan tepat. Terutama kontrol dalam hal mempromosikan destinasi kita, jangan terlalu bernafsu untuk dapat tenar sebelum semuanya siap ...
Salam pariwisata