Wednesday, June 12, 2019

Konsep dan Definisi Wisata Bencana (Dark Tourism)

Seiring berjalanya waktu destinasi wisata semakin hari semakin kaya dengan berbagai macam atraksi serta model pengembangan pariwisatanya. Mulai dari wisata alam, budaya, wisata bauatan, minat khusus, wisata sejarah kekelaman masa lalu (dark tourism)  dan yang terakhir akan dibahas adalah  wisata bencana.

wisata bencana
Wisata Bencana Lava Tour, Sumber https://www.facebook.com/lavatourmerapijeep
Wisata bencana mulai berkembang di berbagai daerah rawan bencana, salah satunya di Kota Wisata, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagian wilayah di Yogyakarta pada dasarnya merupakan kawasan rawan bencana. Badan Penganggulangan Bencana Daerah (BPBD) Yogyakarta menyebutkan bahwa gempa yang tercacat dalam literaturnya sebanyak 7 kali gempa tektonik, dari rentang tahun 1867, 1937, 1943, 1976, 1981, 2001 dan 2006. Gempa terbesar yakni tahun 1867, 1943 dan 2006.

Yogyakarta tidak hanya rawan gempa tektonik saja, disebutkan juga bahwa yogyakarta rawan bencana gunung meletus. Yogyakarta mempunyai  gunung aktif Merapi yang sudah 33 kali meletus dari 300 tahun yang lalu. Mengacu dari data kementerian Energi Sumber Daya Mineral Badan Geologi. Perlu diketahui bahwa Gunung Merapi yang berada di antara Yogyakarta dan Jawa Tengah adalah gunung api teraktif di pulau Jawa bahwa dunia. Bahkan letusan Gunung Merapi tahun 2010 merupakan letusan yang terbesar karena mampu memuntahkan material vulkanik hingga mencapai 140 juta meter kubik.

Wilayah- wilayah terdampak bencana di Yogyakarta ternyata tidak selamanya berputus asa menyerah pada bencana. Dibalik benccana yang pernah melada ternyata beberapa wilayah justru mampu bangkit dan berkembang pariwsiatanya.

wisata bencana
Wisata Bencana Lava Tour, Sumber https://www.facebook.com/lavatourmerapijeep
Fenomena pariwisata berbasis komunitas pasca bencana di Yogyakarta memang cukup unik. Sebagian wisata berbasis warga dibangun atas semangat untuk bangkit dari keterpurukan pasca bencana terjadi (letusan Merapi maupun gempa tektonik). Semisal Desa Nglanggeran, Gunung Kidul. Desa wisata ini dibangun pasca gempa tektonik Yogyakarta tahun 2006. Keunikan desa ini adalah geowisata Gunung Purba Nglanggeran, serta ditambah ekowisata berbasis minat khusus lainnya. Kemudian  Desa Wisata Dusun Ngelepen, Prambanan, Sleman yang sering juga disebut dengan Dusun Teletabies, dikarenakan rumah yang dibangun di dusun tersebut serupa dome seperti rumah Teletabies pada serial anak-anak Teletabies. Para wisatawan yang berkunjung di dusun tersebut dipersilahkan melihat bagaimana masyarakat dusun tersebut beraktifitas diantara rumah-rumahnya yang unik. Para wisatawan pun bisa menginap di rumah penginapan serupa dome tersebut, untuk menikmati bagaimana rasanya hidup dalam rumah “Teletabies”.

Dari sekian destinasi wisata berbasis komunitas dan kebencanaan di Yogyakarta, fenomena kepariwisataan komunitas berbasis kebencanaan yang menarik salah satunya adalah di kecamatan Cangkringan, Sleman,  Yogyakarta dengan daya tarik wisata lava tournya. Kecamatan Cangkringan berjarak hanya 7-10 Km dari puncak Gunung Merapi. Sebagian dari wilayah Cangkringan masuk dalam Kawasan rawan bencana III. Kawasan ini sudah sering kali terkena dampak letusan merapi sehingga menimbulkan bentang alam yang begitu unik dan dinamis dari waktu ke waktu. Sedangkan Lava Tour merupakan salah satu atraksi pariwisata yang ditawarkan oleh masyarakat di lereng Gunung Merapi.

Hadirnya fenomena Lava Tour adalah sebuah keunikan dalam model wisata. Lava Tour pada dasarnya adalah sebuah kemasan wisata yang merujuk pada bencana (tepatnya pasca bencana) sebagai komoditas pariwisata.

Suatu kontradiksi di kalangan ilmuan pariwisata bahwa adanya wisata bencana masih terdapat perbedaan pendapat, antara yang pro dan yang kontra. Beberapa pendapat yang kontra misalnya “Wisatawan pada dasarnya datang untuk mendapatkan hiburan, bukan ingin melakukan penelitian maupun observasi. Maka sesungguhnya konsep wisata bencana pada dasarnya adalah hal yang paradoks dan terkesan aneh dan negatif” (McKercher, 1993) dan (Sharpley, 2006). Beberapa juga menganggap bencana bukanlah sebuah tontonan, dan tidak selayaknya bersenang-senang diatas penderitaan orang lain. “Pada dasarnya tujuan wisata bencana adalah hanya tertarik pada kehancuran, bukan berniat untuk menolong” (Potts, 2006; Miller, 2008).

Kemudian pada sisi pro mengatakan bahwa “Wisata bencana pada dasarnya sebagai kendaraan memahami bagaimana dampak bencana nampak melalui tur wisata (Miller, 2008). Fenomena wisata yang menjadikan bencana sebagai “tontonan” memang sulit dihindarkan. Arus masyarakat untuk datang sendiri melihat peristiwa bencana dipengaruhi oleh media massa dalam hal ini jurnalis maupun pejabat pemerintah yang memperlihatkan “tur” mereka di wilayah bencana. Secara tidak langsung media massa dan pejabat pemeritah telah mempromosikan kawasan tersebut (Pezzulo, 2010).

Perdebatan tentang bencana bisa menjadi komoditas wisata atau tidak adalah mengacu pada definisi pariwisata sebagai “Kegiatan rekreasi diluar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain” (Damanik & Weber, 2006)Pada umumnya wisata adalah aktifitas seseorang atau kelompok yang keluar dari domisilinya untuk mengisi waktu luang (leisure) dengan hiburan. Pendekatan definisi-definisi yang sifatnya konvensional seperti diatas ini yang membuat fenomena bencana sebagai wisata menjadi perdebatan.

Dari berbagai kajian diketahui latar belakang munculnnya pariwisata adalah untuk mengembalikan kembali ke kondisi awal setelah dilanda bencana, Masyarakat lokal akhirnya harus bernegosiasi dengan bisnis wisata sebagai  solusi ekonomi mereka. Mau membuka diri dengan menjadikan bencana sebagai komoditas wisata demi mengembalikan kondisi ekonomi mereka. Hal inilah yang terjadi di Yogyakarta pasca erupsi Gunung Merapi, maupun di kota lain di dunia seperti di New Orleans pasca badai Catrina.
disaster tourism
Erupsi Gunung Berapi, Sumber fdestianz.blogspot.com
Lalu apa sebenarnya wisata bencana itu ? serta bagaimanakah pola pengembanganya?
Dalam riset, Zein Mufarrih Muktaf (2017) mengajukan konsep wisata bencana sebagai berikut :
Wisata bencana pada dasarnya adalah wisata edukasi yang membawa kehancuran, kematian dan kehidupan kembali sebagai  daya tarik wisata. Kesaksian korban, serta lokasi peristiwa menjadi hal yang ontentik untuk diperhatikan. Kaitan dampak emosional dari wisata bencana lebih terasa daripada mempelajari bencana di museum.

Wisata bencana menghadirkan trip atau tur sebagai bagian dari kemasan wisata. Wisatawan bisa melihat langsung bagaimana bencana terjadi. Hal ini seperti yang dilakukan dalam wisata bencana Lava Tour di lereng Gunung Merapi Yogakarta.
Bagaimana padanagan masyarakat tuan rumah terhadap pariwisata? pelajari disini

Peran komunikasi antara penggerak wisata dan wisatawan menjadi sangat penting, yakni bertugas menceritakan kronologi peristiwa kepada wisatawan, dan akan lebih baik jika yang menceritakan adalah korban langsung atau saksi mata langsung, karena lebih otentik dan meyakinkan. Keempat, wisata bencana lebih mengutamakan interaksi antara saksi dan wisatawan. Hal inilah yang membedakan dengan wisata di museum. Di wisata museum wisatawan harus lebih aktif, Jika mengunakan pemandu wisata, posisi pemandu wisata hanya sebatas penyampai informasi, bukan saksi mata, korban atau ahli. Hal inilah yang membuat wisata bencana lebih mempunyai dampak yang tinggi terhadap wisatawan.

Wisata bencana bisa menjadi bagian dari literasi bencana, dikarenakan saksi atau korban menjelaskan banyak hal tentang kebencanaan.

Ditulis berdasarkan intisari  hasil riset Zein Mufarrih Muktaf (2017)

Memahami Pariwisata dari Sudut Pandang Tuan Rumah (host)

Motivasi wisatawan dalam kajian ilmu pariwisata sudah sering dibahas oleh banyak ilmuan-ilmuan pariwisata, salah satunya Butler (1981) yang mengajukan teori tipologi wisatawan. Kemudian konsep motivasi wisatawan juga dikembangkan oleh Pitana dalam bukunya sosiologi pariwisata.

MOTIVASI TUAN RUMAH PARIWISATA

Pertanyaanya, Bagaimana dengan sisi sebaliknya (tuan rumah pariwisata)? kenapa mereka sampai bisa mengembangkan destinasi wisata? Berbeda halnya dengan motivasi wisatawan, motivasi tuan rumah wisata mungkin masih sangat sedikit menjadi objek kajian dalam ilmu pariwisata. Studi pariwiata yang banyak ditemui justru lebih sering membahas mengenai dampak sosial dan budaya pariwisata. Jika konteksnya dampak, berarti pariwisata sudah terjadi. Jika pun terjadi dampak Negatif (buruk) yang sangat merugikan pihak tuan rumah, tidak sering akibat buruk itu terlambat untuk ditangani, misalnya dampak terrhadap degradasi nilai-nilai sosial dan budaya akibat paiwisata.

Seperti halnya mata uang, pariwisata selalu melibatkan dua dimensi yang saling terkait/ interdependensi yaitu turistik (wisatawan) dan lokalitas (tuan rumah). Dimensi turistik terkait dengan hal-hal yang menjadi tuntutan wisatawan misalnya destinasi harus unik, indah, bersih, memiliki sarana wisata a, b dan c, aksebilitas mudah dan lain sebagainya. Sedangkan dimensi lokalitas terkaait dengan tuntutan-tuntutan lokal, misalnya : terjaminya kelangsungan nilai sosial budaya lokal, kontribusi posistif bagi perkembangan ekonomi lokal, terjaganya kelestarian alam dan lain sebagainya.
MOTIVASI TUAN RUMAH PARIWISATA

Baik tuan tuntutan lokalitas maupun tuntutan-tuntutan turistik semuanya harus terpenuhi agar kelangsungan pariwisata dapat terus belanjut dan berkembang. Lokalitas dan turistik harus macht, harus pro-, saling suport, dan saling ketergantungan. Pengembang wisata tidak  boleh hanya berupaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan wisatawan namun abai terhadap tuntutan lokalitas. Jika pariwisata mau maju maka keduanya harus di macth-kan. Wisatawan terpenuhi kebutuhan dan harapanya dalam berwisata tuntutan lokalitas mendapatkan manfaat dari pariwissata dan terpuaskan. “Pariwisata harus menjadi wahana simbiosis mutualisme yang lebih adil bagi kedua pihak.” Motivasi tuan rumah dalam hal ini termasuk salah satu dari dimensi-dimensi lokalitas yang telah dijelaskan diatas.

Kembali lagi pada bahasan awal, minimnya kajian mengenai motivasi tuan rumah menjadi alasan penulis untuk menjelaskan tentang apa saja motivasi tuan rumah pariwisata itu. Artikel ini ditulis berdasarkan intisari dari buku karya Hermantoro (2014) yang berjudul “Creative-Based Tourism: Dari Wisata Rekreatif Menuju Wisata Kreatif”

Pandangan peneliti, menyebutkan bahwa motivasi tuan rumah pariwisata pada awalnya hanya “untuk menerima tamu.” Tamu yang datang dalam suatu komunitas sangat dihargai, bahkan merupakan sebuah kehormatan dan kebanggan dalam tradisi ketimuran (Indonesia). Buktinya banyak sekali tari budaya di berbagai suku budaya yang khusus ditujukan untuk para tamu adat. Kemudian seriring berjalanya waktu, ada suatu tahap dimana masyarakat lokal melihat “peluang ekonomi yang besar dari kunjungan wisatawan.” Pada tahap ini orientasi masyarakat lokal adalah untuk dapat memperoleh keuntungan dari kehadiran wisatawan. Masyarakat berada pada sisi yang inferior, masyarakat menganggap dirinya sebagai pihak yang membutuhkan wisatawan. Tahap inilah yang paling sering menjadi bencana jika pengelola wisata / masyarakat (dalam CBT) tidak mengelola pariwisata dengan bijak. Keinginan untuk memperoleh uang secara besar-besaran sering menjadikan capaian pariwisata hanya profit dan jumlah kunjungan. Sehingga sangat sering terjadi pariwisata masal dengan harapan untuk menarik wisatawan sebanyak-banyaknya tanpa mau peduli sejauh mana daya dukung destinasi yang ada. Sehingga kerusakan lingkungan alam tidak dapat terhindarkan. Pariwisata dengan tujuan uang semata, sering kali menghiraukan nilai-nilai sosial-humanisme dan nilai budaya lokal. Komoditifikasi dan komersialisasi budaya merupakan hal yang paling sering dijumpai, hal inilah yang menimbulkan degradasi moral dan nilai budaya lokal. Tradisi yang dahulunya sesuatu yang sakral menjadi tidak lebih dari sekedar tontonan dan hiburan semata. Efek meniru budaya luar yang dibawa masuk wisatawan yang biasanya tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal seperti hedoisme. Situs-situs sakral bisa jadi hilang untuk memenuhi kebutuhan sarana wisata bagi wisatawan.

Tingkatan motivasi ketiga adalah tahap masyarakat berfikir dewasa. Masyarakat mulai menyadari bahwa hubungan antara masyarakat selaku tuan rumah wisata dan wisatawan selaku tamu adalah hubungan yang seharusnya saling respek dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Motivasi tuan rumah pada tahap ini adalah “motivasi untuk saling berbagi.”  Masyarakat mulai memposisikan dirinya bukan sebagai pelayan, namun hubungan mereka lebih menuju pada kesetaraan, melayani wisatawan dengan profesional dan proporsional. Pada tahap ini bisa terjadi manajemen wisata yang macht antara locality and tourist. Destinasi wisata mampu dikelola dengan bijak sesuai prinsip-prinsip pengelolaan pariwisata berkelanjutan yang berkontribusi bagi kemakmuran massyarakat, peduli pada kelestarian alam serta terhadap secara sosial dan budaya lokal.

Tahap tertinggi dalam motivasi tuan rumah adalah “tahap aktualisasi diri.” Konsep Maslow juga berlaku dalam meninjau sisi ini. Pada tahap ini masyarakat lokal bukan sekedar berkarya untuk mendapatkan uang semata, tetapi saat ini mereka berkarya untuk mendapatkan pengakuan. Pada tahap ini mulai terbentuk masyarakat pariwisata yang mampu mendorong terbentuknya penghargaan atas karya-karya mereka. Bukan lagi komunitas pariwisata yang seakan seperti  tukang jahit, yang sekedar menerima dan memenuhi pesanan keinginan pasar. Pada tahap ini juga mulai terbentuk paiwissata yang mampu memberikan pengkayaan diri bagi kedua sisi, pengkayaan bagi wisatawan maupun bagi tuan rumah wisata.

Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat hendaknya menganut konsep “Think locally, act globally” berfikir lokal bereaksi secara global.

Begitulah kira-kira pandangan mengenai konsep motivassi tuan rumah wisata. Semuga bermanfaat...
Anda mencari jurnal yang cocok untuk publikasi hasil penelitian pariwisata?, temukan disini!

MOTIVASI TUAN RUMAH PARIWISATA


Sumber :
Hermantoro, H. (2014). Creative-Based Tourism: Dari Wisata Rekreatif Menuju Wisata Kreatif. LAP LAMBERT Academic Publishing.

Instagram Efek dan Pariwisata

           Perkembangan pengguna internet dan media sosial di Indonesia, merupakan salah satu yang terbesar di Asia-Pasifik. Salah satu media sosial yang cukup besar peminatnya adalah instagram. Menurut oke zonetechno, disebutkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah pengguna Instagram terbanyak. 89 persen Instagrammers yang berusia 18-34 tahun mengakses instagram setidaknya seminggu sekali.

wisata ala korea di bandung
Icon wisata yang diperkuat dengan budaya korea
          Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan pengguna mengambil foto, menerapkan filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial, termasuk milik Instagram sendiri. Satu fitur yang unik di Instagram adalah memotong foto menjadi bentuk persegi, sehingga terlihat seperti hasil kamera Kodak Instamatic dan polaroid. Hal ini berbeda dengan rasio aspek 4:3 yang umum digunakan oleh kamera pada peranti bergerak.

           Besarnya pertumbuhan pengguna instagram, menjadikan Instagram Efektif Menyebarkan Informasi Pariwisata.  Keunggulan fitur share foto pada aplikasi media sosial instagram menjadikannya kemudahan tersendiri dalam promosi pariwisata. Kecenderungan wisatawan untuk men-share foto mereka ketika berwisata membuat pengelola tidak perlu terlalu repot membuat promosi pemasaran dan iklan. Share foto yang dilakukan wisatawan memiliki efek yang sama  seperti halnya word of moud, promosi paling murah dan paling efektif dalam pemasaran.

Fenomena instagram juga membawa pendekatan baru dalam perencanaan daya tarik wisata dan destinasi. Jika dalam teori terdahulu, pendekatan pengembangan destinasi dilakukan dengan  3S yaitu : 1.Something to see, 2.something to buy dan 3.somethingto do (Yoeti, 1983), mungkin kini mulai beralih menjadi 4S diantaranya : 1. Something to see, 2. something to buy, 3.something to dodan terakhir yang paling penting adalah harus ada adalah something to share.

Floating market bandung
Floating market bandung
Something to share adalah apa yang dapat wisatawan bagi disaat atau setelah berwisata. Tentu dan tidak lain adalah foto ikonik, yang diambil dari destinasi wisata yang dikunjungi.  Foto instagram yang di share wisatawan dapat menjadi bentuk kenang-kenangan yang sangat berarti terhadap perjalanan wisatanya, meningkatkan gengsi karena terbukti mampu mengunjungi tempat tertentu, dan yang paling penting foto instagram mampu menjadi sumber informasi bagi calon wisatawan lain.

Dalam kondisi seperti diatas, pengembangan destinasi dengan perencanaan lansekap atau icon wisata yang intagramable sangat diperlukan. Tidak hanya aktifitas wisata saja yang penting namun icon destinasi juga merupakan hal yang harus ada. Arsitektur yang  ikonik biasanya akan menjadi penanda atau ciri khas dari suatu tempat atau daerah karena tampilannya lihat ini. Hal ini menyesuaikan tuntutan kebutuhan wisatawan untuk mendapatkan foto terbaik di destinasi. Kecenderungan seperti ini sudah mulai banyak dipenuhi beberapa pengelola destinasi wisata. Berikut merupakan contoh destinasi wisata yang mulai berhasil menarik minat wisatawan dengan pendekatan lansekap wisata yang instagramable :

Kalibiru Kulon Progo Yogyakarta
Destinasi wisata ini menjadi booming berkat foto-foto indahnya yang diunggah netizen di instagram. Wisata kalibiru ini wisata yang unik dan menyenangkan mata. Karenanya kalibiru, Daerah Kulonprogo menjadi daerah yang dikenal oleh masyarakat luas sekarang.

instagram dan pariwisata

Terletak di sebelah barat dari Daerah Istimewa Yogyakarta kalibiru ini terletak di Desa Hagrowilis Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo. Kamu tidak perlu berlama – lama jika ingin mengunjungi kalibiru dari Kota Yogyakarta. Karena cukup dengan 1.5 jam kamu sudah sampai di tempat wisata ini. Kalibiru sangat mudah ditemukan sekarang karena memang jalan menuju kalibiru tidak membingungan.

Keunikan utama dari destinasi wisata ini adalah lansekap alamnya yang sangat indah jika dipotret dari ketinggian, dan tentunya intagramable banget. Wisatawan dapat berfoto di atas menara pandang yang dibangun pada pohon sambil menikmati kesegaran udara yang masih alami. Menara Pandang ini juga merupakan salah satu faktor kalibiru menjadi terkenal dan menjadi hits di kalangan anak muda sekitar jogjakarta. Wisatawan yang ingin mencoba Menara Pandang kamu cukup membayar sebanyak Rp.10.000,- untuk 1 orang. Menara Pandang ini mampun menampung sebanyak 3 orang dewasa termasuk penjaga.

Foating Market
Informasi mengenai floating market saya dapatkan dari banyaknya postingan foto mengenai tempat wisata yang baru diresmikan di akhir tahun 2012 lalu ini account instagram teman-teman saya di Bandung.

instagram dan pariwisata

Floating market adalah destinasi wisata berbasis danau buatan yang berada di di Jln. Grand Hotel Lembang yang dapat dijangkau dari kota Bandung dengan berjalan ke bunderan pasar Lembang. Belok kanan trus setelah melihat Grand Hotel Lembang di sebelah kiri, langsung belok kiri. Lokasi Floating Market gak jauh dari Grand Hotel tersebut.

Keunikan dari floating market adalah penjual makanan di atas perahu yang menawarkan sensasi berbeda. Juga wahana keliling danau buatan menggunakan perahu kereta. Keunikan lain dari floating market adalah lansekap yang ditata bergaya negara Jepang dan Korea sehingga lingkungan foating market sangat instagramable untuk berfoto. Untuk menambah manis hasil foto dan kesan kejepangan, wisatawan dapat menyewa baju kimono khas jepang atau korea.

Sebagai tambahan informasi, untuk masuk ke dalam kawasan Floating Market Lembang ini kita dikenakan tiket masuk sebesar Rp10.000 per orang dan Rp5.000 per mobil. Tiket masuk tersebut dapat ditukar dengan beragam pilihan minuman, mulai dari lemon tea, hot cappuccino, hingga hot chocolate.

The Lost Tower Yogyakarta
The Lost World Castle  adalah salah satu tempat wisata yang lagi hits di Yogyakarta. The Lost World Castle sebenarnya merupakan kawasan wisata yang sedang dibuat di Cangkringan Sleman. Letaknya tidak jauh dari gunung merapi. Namun karena sudah banyak pengunjung yang datang untuk berfoto-foto sehingga tempat ini menjadi rame dan booming di sosial media.

instagram dan pariwisata
The Lost Tower di Jogja
Keunikan dari destinasi wisata adalah pada bangunan yang dibuat menyerupai Benteng Cina dengan dikelilingi taman bunga sakura sintetik, yang menambah manis lansekap alami yang sebenarnya sudah sangat manis dan tentunya sangat instagramable.
Meskipun pada saat ini masih terjadi konflik kepentingan antara warga dan pengelola dengan dinas terkait. Namun daya tarik Lost Tower Yogyakarta tetap menawarkan spot foto yang sangat instagram banget.
bunga sakura jogja
Sakura di The Lost Tower
            Dalam kontek pengembangan pariwisata, pengelola dituntut untuk peka terhadap perubahan sosial akibat dari dampak pariwisata. Penggunaan instagram hanya untuk pemassaran dengan menarik wisatawan sebanyak-banyaknya juga menjadi kurang bijak. Selain iconik dan intagramable, faktor nilai dan edukasi serta mewujudkan partisisipasi aktif wisatawan dalam meningkatkan kualitas lingkungan destinasi yang berkalanjutan serta kesejahteraan masyarakat yang dikunjungi menjadi beban moral yang harus dirumuskan dan diwujudkan bersama antar berberapa pihak yang terkait dalam pengembangan destinasi wisata.

Baca artikel lainya tentang perencanaan kelembagaan pariwisata disini

MATRIKS PERENCANAAN KELEMBAGAAN PARIWISATA

Kelembagaan Pariwisata
Pariwisata Kota Jogja 
Menyusun sebuah perencanaan pariwisata sangat diperlukan adanya panduan, berupa frame, matrik atau dapat juga kerangka pikir yang mampu mempermudah dalam identifikasi masalah, memetakan masalah kemudian merumuskan sebuah solusi. Termasuk dalam hal perencanaan kelembagaan pariwisata.
Berikut merupakan salah satu matrik yang dapat dugunakan untuk membuat sebuah perencanaan kelembagaan pariwisata yang cukup mudah digunakan.

MATRIKS PERENCANAAN KELEMBAGAAN PARIWISATA

MATRIKS PERENCANAAN KELEMBAGAAN PARIWISATA

Bagaimana? apakah cukup mudah untuk digunakan?
Tertarik? Baca juga artikel dengan tema hospitality disini

Tuesday, June 11, 2019

Sumbangsih Pemikiran tentang Konsep Pengembangan Desa Wisata

Sudah umum di Negara kita yaitu fenomena ekonomi yang cukup unik, dimana para pemuda desa berbondong-bondong pergi ke kota besar untuk mencari pekerjaan. Pertama mungkin karena minsed pendidikan di Negara kita dimana dunia pendidikan yang lebih mendidik kita sebagai pekerja, bukan sebagai wirausaha yang memiliki optimisme terhadap potensi yang kita miliki sendiri dan kekayaan sumberdaya alam kita.

Desa atau pedesaan bagi saya merupakan asset kekayaan berharga yang sangat bernilai jika mampu kita kelola dan kemudian kita pasarkan dengan benar. Potensi desa adalah layaknya berlian yang yang masih terkubur jauh dalam tanah, butuh upaya keras untuk menggali, membentuk, memoles hingga tampak cahaya berkilau yang menawan, serta mampu memikat siapapun yang memandang.
Jangan lupa juga mampir ke ; www.puspitek.ristekdikti.go.id
Perumpamaan berupa pengambilan berlian dari dalam tanah sampai tahap akhir pemolesan hingga Nampak semua keindahanya tidaklah jauh berbeda dengan upaya-upaya pemasaran yang selama ini kita pelajari. Yaitu memulai dari menggali inti bisnis, pasokan dan modal, mengenali pelanggan dan tipe pasarnya, ruang dan waktu, memoles dengan branding dan kemasan, promosi/iklan, mengenali keunggulan , mengetahui etika dalam peasaran.

Karena basic saya dari pariwisata, maka dalam tulisan ini saya ini saya ingin melakukan upaya penggabungan dua disiplin ilmu yang pernah saya pelajari yaitu ilmu peasaran strategik dan ilmu pariwisata dalam mengupas ide saya mengenai pemasaran potensi pedesaan, yaitu melalui upaya pengembangan desa wisata.


Rumah Dhome salah satu daya tarik di desa saya, foto :
Desa wisata adalah sebuah istilah yang diadopsi atau merupakan kombinasi dari beberapa pengertian tentang pariwisata yaitu :

a. Agrowisata (wisata pertanian) yaitu jenis wisata yang memfokuskan pada pertanian atau perkebunan khas sebagai objek kunjungan. Jenis wisata yang seperti ini biasanya telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga berbagai aspek yang terkait dengan jenis tumbuhan yang dibudidayakan itu menimbulkan motivasi dan daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjunginya. (Damarjati, 2001 : 5)

b. Wisata budaya yaitu gerak atau kegiatan wisata yang dirangsang oleh adanya objek-objek wisata berujut hasil-hasil seni dan budaya setempat, misalnya adat- istiadat, upacara-upacaa agama, tata hidup masyarakat, peninggalan-peninggalan sejarah, hasil-hasil seni dan kerajinan rakyat, dan lain sebagainya. (Damarjati, 2001 : 31)
c. Ecotourism adalah perjalanan wisata yang bertanggung jawab dengan cara mengonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (responsible travel to nature areas that conserves the environment and improves the well-being of local people)(TIES dalam Damanik dan Weber 2006)


Desa wisata yaitu sebuah kawasan yang berkaitan dengan wilayah atau berbagai kearifan lokal (adat-istiadat, budaya, potensi, yang dikelola sebagai daya tarik wisata sesuai dengan kemampuannya, yang ditunjukan untuk kepentingan sosial dan ekonomi masyarakt. Kearifan lokal atau system pengetahuan lokal yang dimaksud disini adalah pengetahuan yang khas yang milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang sekian lama , sebagai hasil dari proses hubungan timbal balik antara pnduduk tersebut dengan lngkunganya (petunjuk teknis penelitian Budaya, anonym, Yogyakarta : P2KD DIY 2003)

Penulis mendefinisikan desa wisata sebagai kawasan berupa lingkungan pedesaan yang memiliki daya tarik berupa kearifan lokal seperti adat-istiadat, budaya, kekayaan alam yang memiliki keunikan dan keaslian berupa ciri khas suasana pedesaan. Kawasan pedesaan yang dikelola sebagai desa wisata biasanya memiliki lebih dari satu atau gabungan dari beberapa daya tarik wisata, misalnya gabungan dari agrowisata, wisata budaya, dan ecotourism dalam satu kawasan desa wisata

 Kunci dalam pengembangan dan pemasaran desa wisata dikenal dengan konsep Community Base Tourism (CBT) dari masyarakat lokal, oleh masyarakat lokal dan untuk msyarakat lokal sendiri. Tujuan dari konsep CBT adalah agar manfaat berupa peningkatan nilai dan kontribusi positif dari pengelolaan wisata mampu dirasakan tuan rumah. Kerjasama dengan berbagai pihak sangat perlu dilakukan namun jangan sampai membuat masyarakat kehilangan kedaulatan dalam mengelola potensi desanya sendiri, jangan sampai majunya pariwisata justru melahirkan masyarakat yang termarginalisasi baik secara ekonomi maupun sosial budaya, yang dalam bahasa jawa dikenal perumpamaan “Ra melu mangan nangkane gupak pulute”, jika diartikan adalah “tidak ikut mendapat manfaat (enak) tetapi kebagian sengsaranya”.

Untuk itu penulis dalam tulisan ini selalu menekankan menekankan bahwa dalam pengembangan dan pemasaran desa wisata benar-benar diperlukan langkah yang tepat didukung strategi pemasaran yang humanis dan beretika.

Berbicara masalah potensi desa, inti bisnis yang dapat dikembangkan di pedesaan sangat bervariatif nisalnya bisnis di bidang pertanian sawah, perkebunan, kerajinan, peternakan, kesenian dan budaya, kuliner dan pagan. Diantara potensi inti bisni yang ada, melalui strategi seleksi saya memilih pariwisata melalui pengembangan desa wisata sebagai inti bisninya.
Saya berpendapat bahwa melalui pengembangan desa wisata maka akan mampu mengangkat potensi bisnis sektor lain yang ada di desa, hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip pemasaran tahap 4. Dalam pemasaran tahap 4, pemasar diwajibkan memperhatikan aspek-aspek prehubungan produsen dan relasi, kepuasan konsumen, kesejahteraan bersama serta peduli terhadap pelestarian ekologi/lingkungan hidup (Francis Wahono, 2015: 140).

Pemikiran ini saya gambarkan melalui bagan-bagan berikut :

Mengembangkan pariwisata sebagai solusi memasarkan potensi desa mampu membuat kita berbuat lebih banyak, kita jiga dapat menggerakan sektor lain-lainya melalui upaya-upaya sinergi seperti ide saya berikut :



Sedangakan dalam menentukan strategi pengembangan dan pemasaran desa wisata, terlebih dahulu kita harus mengetahui faktor-faktor internal dan eksternal yang dimiliki. Faktor internal berupa kekuatan (potensi), dan kelemahan, sedangkan faktor eksternal berupa peluang dan ancaman. Kemudian dari faktor-faktor yang kita temui, selanjutnya kita analisis melalui metode SWOT.

Sesuai dengan paragraph diatas maka strategi inti bisni terlebih dahulu kita analisis sengan metede swot seperti berikut.
1.      Kekuatan :
Desa memiliki alam yang masih asri menenangkan, serta memiliki kearifan lokal (adat dan budaya) asli/unik di masing-masing daerah. Nuansa pedesaan seperti  ini yang pada saat ini sedang banyak dirindukan oleh masyarakat kota yang jenuh dengan rutinitas kegiatan perkotaan yang padat.
2.      Kelemahan :
Masyarakat lokal masih kurang memahami tantang konsep sadar wisata, sehingga pengelolaan desa wisata pada saat ini kurang optimal. Masih banyak masyarakat yang beranggapan dengan semakin banyak kunjungan wisata mereka akan untung secara ekonomi, padahal juga patut diwaspadai potensi kerusakan alam akibat pariwisata. Untuk itu diperlukan upaya pemasaran dan pengelolaan yang benar benar tepat dan sesuai.
3.      Peluang
Trend wisata back to nature atau trend mengunjungi lokasi wisata yang mamiliki alam yang indah, asri dan alami sedang marak dan berkembang akhir-akhir ini.
Kecenderungan saat ini ditandai oleh berkembangnya gaya hidup dan kesadaran baru akan penghargaan yang lebih dalam terhadap nilai – nilai hubungan antar manusia dengan lingkungan alamnya. Perkembangan baru tersebut secara khusus ditunjukan melalui bentuk – bentuk keterlibatan wisatawan dalam kegiatan – kegiatan di luar lapangan (out door), kepedulian akan permasalahan ekologi dan kelestarian alam, kemajuan akan ilmu pengetahuan dan pendidikan, penekanan dan penghargaan akan nilai – nilai estetika, kebutuhan pengembangan diri/pribadi serta keinginan untuk berinteraksi secara mendalam dengan masyarakat. Kita juga bisa lihat kunjungan wisatawan ke Kabupaten Gunung kidul yang melonjak tajam akhir tahun ini. Seperti kita ketahui bersama destinasi wista andalan Kabupaten Gunung Kidul adalah pariwisata alam, yang didukung dengan pesatnya pengembangan desa wisata.
4.      Ancaman
a.       Persaingan di banding pengalolaan dan pemasaran yang tepat menentukan eksistensi keberlanjutan desa wisata.
b.      Potensi kerusakan berupa dampak negatif jika pola kegiatan dan kunjungan wisata tidak dikelola dengan benar.

Setelah analisis telah dilakukan, maka langkah selanjutnya dalah menentukan tujuan dan strategi. Tujuan pemasaran dan pengembangan desa wisata, adalah “Mengembangkan dan memasarkan potensi desa melalui pengembangan desa wisata agar diperolah manfaat berupa kontribusi positiv bagi perkembangan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat lokal (kemajuan masyarakat asli desa yang lebih diutamakan) serta terjaganya alam dan lingkungan pedesaan”.
Sejalan dengan pernyataan Spillane (1993), mengutip pernyataan IUOTO (International Union of Official Travel Organization), yang menyatakan delapan alasan pengembangan pariwisata yaitu:

a.       Pariwisata sebagai faktor pemicu bagi perkembangan ekonomi nasional maupun     
          internasional
b.      Pemicu kemakmuran melalui perkembangan komunikasi, transportasi, akomodasi, 
          jasa-jasa pelayanan lainya
c.       Perhatian khusus terhadap pelestarian budaya, nilai-nilai sosial agar bernilai ekonomi
d.      Pemerataan kesejahteraan yang diakibatkan oleh adanya konsumsi wisatawan di 
           destinasi wisata
e.       Penghasil devisa
f.       Pemicu perdagangan internasional
g.      Pemicu pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan profesi pariwisata 
         maupum lembaga yang khusus membentuk jiwa hospitality yang handal dan santun
h.      Pangsa pasar begi produk lokal sehingga aneka-ragam produk terus berkembang, 
         seiring dinamika sosial ekonomi pada daerah suatu destinasi.

Sedangkan strategi pemasaranya adalah “upaya pemasaran strategic yang bukan untuk menarik wisatawan missal atau dalam jumlah besar, akan tetapi berupaya untuk menarik wisatawan yang berkualitas, wisatawan yang mampu memberi kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan/alam pedesaan serta pemasaran yang mampu mengurangi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan hingga seminimal mungkin.”

Dalam hal strategi pengembangan inti bisnis (desa wisata), penulis lebih setuju dengan konsep “strategi pengembangan pariwisata berkelanjutan”. The World Tourism Organization  memberikan batasan tentang Sustainable Tourism Development yang dikutip oleh Liu (2003) sebagai berikut :

Sustainable Tourism Development meet the need of present tourists and host regions while protecting and enhancing opportunity for the future. It is envisaged as leading to management of all resources in such a way that economic, social and aesthetic need can be fulfilled while maintaining culture integrity, essential ecological process, biological diversity and life support systems.

Jika diartikan secara bebas, pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah usaha mempertemukan kebutuhan wisatawan (sebagai customer) dan daerah penerima (desa wisata sebagai pemasar) pada hari ini, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan peluang untuk masa depan. Semua ini dipertimbangkan sebagai pengarah untuk mengelola semua sumber-sumber sedemikian rupa agar kebutuhan ekonomi, social, budaya, dan nilai estetika terpenuhi sembari mempertahankan integritas budaya, proses ekologi pokok, keanekaragaman biologi dan sistem pendukung hidup

Walaupun menurut Muslow pariwisata sebenarnya hanya merupakan kebutuhan tersier, namun pada kenyataanya permintaan produk wisata pada saat ini sangat besar, dan semakin tahun semakin mengalami peningkatan. Seakan-akan pariwisata pada saat ini menjadi sebuah kebutuhan pokok dalam memenuhi gaya hidup atau life style. Untuk itu pengembangan dan pemasaran pariwisata yang tepat pada saat ini adalah hal yang mutlak, tidak dapat hanya asal-asalan demi untung sementara.

Sebagai gambaran, menurut data Badan Pusat Staistik (BPS) update tahun 2013, pada awal tahun 2013 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia bulan Mei adalah 7.007.000 kunjungan, naik 7,65 % dibandingkan jumlah kunjungan wisman pada Mei 2012 yang berjumlah 6.509.000 kunjungan. Begitu pula, jika dibandingkan dengan April 2013, jumlah kunjungan wisman Mei 2013 juga naik sebesar 8,45 %. Sedangkan secara kumulatif, selama Januari sampai Mei 2013, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 3.360.000 kunjungan, meningkat 5,79 % dibandingkan jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama tahun 2012. (Badan Pusat Statistik, 2013 : 1).

Sedangkan mengenai permintaan kunjungan wisata di desa wisata, penulis telah mengambil sampel di Desa Wisata Nganggeran untuk diamati. Menurut data yang berhasil dihimpun penulis, dari tahun ke tahun desa wisata ini mengalami pertumbuhan tingkat kunjungan yang sangat signifikan.
Peningkatan Kunjungan Wisatawan di Desa Wisata Nglanggeran
TAHUN
JUMLAH  WISATAWAN
Tahun 2010
7,314 wisatawan
Tahun 2011
16,448 wisatawan
Tahun 2012
70,000 wisatawan
Tahun 2013
120,000 wisatawan
Tahun 2014
130,000 wisatawan

Sepintas peningkatan kunjungan wisata yang pesat seperti berkontribusi positive terhadap desa wisata yang dikunjungi. Akan tetapi pada kenyataanya tidaklah selamanya seperti itu, banyak desa wisata yang mengalami limpahan kunjungan yang begitu besar justru malah mendapat masalah yang tidak mengenakan misalnya kerusakan lingkungan akibat vandalisme, penyimpangan sosial dan lain sebagainya. Untuk itulah strategi pemasaran yang efektif dalam menarik pelanggan yang tepat sangat diperlukan.

Untuk itu penulis mengusulkan bahwa strategi pemasaran untuk target wisatawan (pasar/pelanggan) sebaiknya bukan berdasarkan jumlah besar (masal/kuantitas), namun sebaiknya memilih target wisatawan (pelanggan/pasar) berkualitas misalnya.

1. Wisatawan keluarga yang berkepedualian terhadap kelestarian budaya, alam dan lingkungan desa.

2. Kalangan terpelajar (ilmuan/ mahasiswa/ budayawan) dan kalangan usaha/bisnis yang ingin berdekatan dengan alam dan juga ingin menambah pengetahuan baru mengenai kehidupan desa.

3. Wisatawan asing yang ingin melakukan studi budaya dan event.

4. Komunitas pecinta alam dan minat khusus: rafting, rock climbing, hiking, camping, outbond dll.

Segment wisatawan (pelanggan/pasar) diatas biasanya memiliki karakter yang menuntut produk wisata kita uraikan sebagai beikut, beserta tipe pemasaran yang cocok untuk diterapkan.

1. Produk wisata yang alami, asli, otentik dari desa bukan hasil rekayasa demi komersialisme semata. Misalnya wisata budaya sadranan di desa wisata, dalam mengemas daya tarik wisata budaya tersebut pengelola harus mempertimbangkan kesakralan, keaslian upacara tersebut. Jadi upacara tersebut tidak dapat kita adakan seenak hati menurut tuntutan wisatawan sebagai konsumen, namun wisatawan tersebut harus patuh pada tradisi adat desa setempat. Hal tersebut juga untuk menghindari komersialisasi budaya. Tipe pasar yang cocok diterapkan adalah tipe pemasaran mencipta (community base, culture base, religion base, ideology/taking side). Dalam bahasa sederhana ada event budaya maka pasar wisata budaya ada. Bukan sebaliknya, ada permintaan wisatawan ada event budaya (komersialisasi budaya).

2. Berdasarkan segment wisata diatas, tujuan dari wisatawan berwisata adalah untuk mencari hal baru/pengalaman yang berbeda dari lingkungan asalnya, mempelelajari hal-hal baru, memperoleh hubungan baru dst. Dari banyak hal setidaknya dalam kegiatan pemasaran desa wisata terjadi transaksi antara wisatawan dan tuan rumah (masyarakat lokal sebagai berikut).


1.      Mengenai cara pemasaran yang efektif dalam memasarkan desa wisata adalah mengemas produk wisata semenarik mungkin kemudian disusun dalam paket wisata. Berdasarkan kearifan lokal yang ada dapat kita susun paket berkunjung permusim, misalnya saat panen padi kita kemas produk wisata kita dalam paket wisata berikut.
a.       Partisipasi upacara adat panen raya, atau wiwitan yang menurut kepercayaan masyarakat lokal adalah expresi rasa sukur atas nikmat yang telah diberikan Tuhan YME kepada petani berupa panen yang melimpah. Ikut terjun ke sawah dan panen padi
Dengan jasa pemandu wisata Rp X ditambah kontribusi kepada petani senilai Rp X
b.      Menikmati makanan khas yaitu sego wiwit Rp X
c.       Berkeliling menikmati potensi alam di desa beserta jasa pemandu wisata Rp X
d.      Belajar kerajinan bengkel warga, misalnya batik, ukir topeng, dengan kontribusi Rp X
e.       Tinggal di rumah warga selama semalam dan turut merasakan kehidupan masyarakat desa seutuhnya (life-in) kontribusi Rp X termasuk makan

Kemudian biaya kontribusi 1 sampai 5 dijumlah menjadi harga paket wisata life-in selama sehari (produk wisata). Sedangkan untuk strategi promosi dan iklanya dapat kita melakukan melalui on-line melalui internet : media sosial, website, blog, ikut server penyedia informasi travel seperti traveloka.com.
Memalui media ofline dan kemitraan (sinergi usaha) dengan cara penitipan brosur di usaha travel agent dengan sitim bagi hasil, travel menjual paket wisata kita, kita sebagai pemasar dan pengelola berkewajiban memberi hak berupa bagi hasil sekian persen menurut kesepakatan dengan pihak travel agent.

Tantangan Terhadap Ruang dan Waktu
Dalam hal pemasaran konsep mengenai ruang dan waktu adalah hal yang mutlak menjadi perhatian bagi pemasaran. Dari konsep waktu sebagus apapun kita membuat produk jika trend zaman tidak mendukung maka produk kita jelas tidak akan laku. Sebagai contoh jika kita menjual baju model 80an kita jual pada saat ini tentu tidak akan laku dalam jumlah besar, mungkin hanya komunitas retro saja yang mau beli. Sedangkan mengacu pada konsep ruang adalah masalah keterjangkauan, misalnya sebagus dan seindah apapun destinasy wisata namun berada pelosok, maka akan menjadi hal yang percuma jika aksebilitas tidak dapat dijangkau wisatawan.

Dalam hal desa wisata jika ditinjau dari konsep waktu, tahun tahun ini adalah tahun emasnya, karena desa wisata dan wisata alam sedang menjadi trend pada saat ini, sesuai yang saya jelaskan pada bahasan sebelumnya mengenai trend back to nature yang sejalan dengan fakta dilapangan menurut data BPS dan penelitian yang saya lakukan.

Sedangkan mengenai konsep ruang maka sinergi/kerjasama pemasaran dan pengembangan dengan steakholder terkait misalnya Dinas Pariwisata, Dinas Perhubungan, Swasta dan pengusaha serta pihak-pihak lain yang bersangkutan sangat perlu dilakukan guna mengembangkan aksebilitas berupa jalan dan pengadaan alternatif moda transportasi menuju desa wisata kita.

Branding dan kemasan yang sebaiknya dilakukan ?
Branding dalam desa wisata sudah pasti diasosiasikan sebagai kawasan pedesaan yang jauh dari kebisingan kota, indah, asri, alami, yang memiliki banyak nilai-nilai kearifan lokal berupa ilmu pengetahuan, sitem dan nilai norma/etika, adat dan budaya. Untuk branding tidak banyak saya menjelaskan karena nama desa sendiri adalah branding, dan setiap desa memiliki keunikan tersendiri. Yang perlu ditampilkan dan dipoles, dikomunikasikan (citra) melalui iklan adalah mengenai keunikan kearifan lokal yang telah ada dan dikemas menjadi paket wisata (produk) seperti yang saya maksud dalam bahasan  diatas.

Komunikasi Nilai dan Penetapan Harga
Dalam pemasaran pariwisata khususnya desa wisata transaksi dan pertukaran nilai degan nilai dapat digambarkan sebagai berikut


Dari pola bagan diatas sudah cukup menjelaskan, bahwa dalam inti bisnis desa wisata keduanya antara pemasar dan pelanggan terjadi peningkatan nilai, disana terjadi bisnis yang Win-win solution. Bagi masyarakat lokal, peningkatan nilai adalah meningkatnya nilai komunitas, misalnya citra desa yang semakin dikenal wisatawan dan masyarakat luas, karya seni budaya lokal memiliki practice karena sering dipentaskan dan dapat dilihat orang dari daerah lain (wisatawan), terbukanya peluang usaha, peluang kerja di masyarakat, berpindahnya pendekatan pengelolaan SDA dari ekploitasi menjadi konservasi dalam pariwisata dan masih banyak lagi.

Sedangkan dari sisi wisatawan juga mengalami peningkatan nilai yaitu berupa pengalaman dan pengetahuan mengenai hal-hal baru, meningkatnya kualitas hidup sehat karena beban stress berkurang setelah berwisata, meningkatkan nilai diri karena turut bersumbangsih dalam melestarikan alam dan budaya lokal masyarakat di daerah yang dikunjungi.

Hal-hal tersebut dapat dikemas menjadi bahasa pemasaran bermacam-macam namun intinya bahwa “dengan berwisata dapat meningkatkan nilai diri anda selaku wisatawan dan  juga turut berkontribusi terhadap peningkatan nilai dari masyarakat dan daerah yang dikunjungi”. Misalnya, wisatawan yang turut menyaksikan pentas tradisi wayang dan melakukan perbelanjaan di daerah tersebut selama berwisata, seperti biaya parkir, makan, biaya tiket pentas. Tentunya secara tidak langsung uang yang dikeluarkan juga menjadi sumbangsih wisatawan terhadap keberlangsungan komunitas seni di desa wisata yang dikunjungi. Kepuasan dan kebanggaan tersendiri juga dari diri wisatawan.

Tentu bahasa pemasaranya dapat dibuat bervariasi agar menarik minat kunjungan.
Sedangkan mengenai skema penetapan harga dibuat paket wisata seperti yang  sudah saya jelaskan pada bahasan sebelumnya di atas.

Promosi dan Iklan

Untuk strategi promosi dan iklan desa wisata dapat kita melakukan melalui on-line melalui internet : media sosial, website, blog, ikut server penyedia informasi travel seperti traveloka.com.

Sedangkan melalui media ofline dan kemitraan (sinergi usaha) dapat dengan cara penitipan brosur di usaha travel agent dengan sitim bagi hasil, travel menjual paket wisata kita, kita sebagai pemasar dan pengelola berkewajiban memberi hak berupa bagi hasil sekian persen menurut kesepakatan dengan pihak travel agent. Bisa juga dengan mengikuti pameran pameran wisata yang dilakukan berbagai pihak

Pasokan, Permodalan, dan Kerjasama Sinergi
Untuk pasokan dalam memenuhi segala kebutuhan wisatawan selama berwisata dapat dipahami melalui skema berikut.
Kebutuhan wisatawan
Sumber/ pemasok
Sistem kerjasama
Atraksi Budaya : pentas tari, music, upacara adat dst.
Komunitas adat, budaya dan kesenian dari msyarakat lokal sekitar
Kerjasama kemitraan, pokdarwis sebagai pengelola/ koordinator inti desa wisata dan komunitas
Atraksi alam dan agrowisata pertanian, perkebunan, pternakan
Petani,
Peternak,
Pemandu wisata

Kerjasama kemitraan
Kuliner dan makanan khas/ lokal
Ibu –ibu PKK,
Warung kecil milik tetangga,
Petani
Kerjasama kemitraan
Tempat tinggal sementara (homstay)
Memakai rumah warga, warga
Kerjasama kemitraan
Lahan parkir dan jasa penjaga parkir
Pemuda dan karang taruna
Kerjasama kemitraan
Kebutuhan lain-lain
Bervariasi
Kerjasama kemitraan, membeli dll.
Bus antar jemput wisatawan dan promosi
Travel
Kerjasama kemitraan, membeli dll.
Aksebilitas jalan
Steakholder dan dinas terkait
Kerjasama kemitraan

Dari skema diatas, pemasok dalam kegiatan pariwisata sangat kompleks, namun sebisa mungkin dapat tercover dan dipenuhi dari potensi sumber daya lokal yang dimiliki desa itu sendiri dengan system kerjasama bersinergi. Organisasi Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang dibentuk dari perwakilan dari tokoh-tokoh masyarakat berperan sebagai koordinator dan fasilitator.
Dengan sinergi yang optimal maka akan terjadi keunggulan komparati (kompetitif).

Tantangan Pasar Global
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah dimulai pada awal tahun ini, keputusan Indonesia untuk berpartisipasi membawa konsekuensi nyata pada sebuah tantangan berupa peluang kebebasan ekonomi ASEAN, namun selain peluang juga ada acaman yang nyata jika Indonesia tidak dapat memanfaatkan kesempatan sebagai actor/produsen dengan keunggulan potensi sumber daya yang dimiliki. Lebih parah lagi jika ternyata negara kita hanya pasif menjadi objek sasaran perdagangan bebas atau hanya menjadi konsumen semata.

Dari beberapa pengamat ekonomi juga mengatakan bahwa Negara kita belum siap bersaing bahkan dengan Negara-negara kecil di ASEAN seperti Tailand dan Vietnam yang telah terlebih dahulu matang secara fundamental ekonomi. Karena, kebijakan politik ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia mereka sudah sejak lama disiapkan untuk mampu berperan sebagai aktor pasar ASEAN.
Baca Juga https://www.haryhermawan.com/2019/06/seminar-nasional-ikatan-dosen-republik.html

Melalui tulisan ini, penulis ingin menumbuhkan sedikit optimisme. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia adalah Negara yang memiliki beragam suku budaya dan daya tarik alam yang indah. Bentang alam seperti laut, hutan, gunung,  bahkan gurun pasir-pun kita punya. Juga keaneka ragaman hayati dunia sepertiga spesiesnya ada di Negara kita. Meskipun kurang penghargaan dari pemerintah, ilmuwan-ilmuwan muda juga banyak yang terlahir di Indonesia. Maka dari itu jika berbicara mengenai potensi pariwisata, saya pribadi berpendapat bahwa Negara kita memiliki potensi yang jauh lebih kaya daripada Negara-negara anggota ASEAN lainya.

Melalui pengembangan desa wisata yang didukung dengan beragam potensi sumber daya yang kita miliki tentunya akan banyak menghasilkan variasi dan diversifikasi produk wisata, dengan pengelolaan yang benar diharapkan pengembangan pariwisata kita mampu unggul pasar ASEAN. Untuk itu beberapa strategi yang mungkin dapat diterapkan adalah.
1.      Pengeloalaan desa wisata yang berkonsep pada pariwisata berkelanjutan dan Community Base Tourism (CBT).
2.      Pendidikan dan training bagi SDA kita, sinergi dengan perguruan tinggi dalam pengembangan pariwisata sangat diperlukan untuk menumbuhkan semangat sadar wisata, profesionalitas dan menanamkan mentalitas berwirausaha.
3.      Kebijakan pemerintah untuk memberikan hak paten atas kekayaan intelektualitas berupa, ilmu pengetahuan, hasil seni-budaya, dan kreatifitas masyarakat. Seperti kita ketahui mayoritas kekayaan intelektual kitas baik berupa ilmu pengetahuan, hasil seni-budaya, dan kreatifitas masyarakat yang ada di desa-desa banyak yang belum memiliki hak paten. Rawan klaim dari Negara lain, seperti pada kasus reog ponorogo, batik, keris, dan tempe.
4.      Permudah ijin usaha, utamakan masyarakat lokal. Bantuan subsidi usaha dan permodalan bagi rakyat kecil serta dukungan Negara dalam pemberantasan korupsi birokrasi.

Etika Pemasaran Pariwisata


Paradigma pengembangan pariwisata telah sejak lama berganti dari 3 S (Sun, Sea and Seks) menjadi konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan. Paradigma pengembangan pariwisata pada zaman dahulu yang tidak sesuai dengan norma dan etika kepantasan budaya ketimuran kini telah berganti dengan paradigma pengembangan pariwisata yang baru yang telah sesuai.


Pengembangan desa wisata yang beretika setidaknya adalah pengembangan desa wisata yang sesuai dengan norma agama, ekonomi dan sosial budaya mayarakat sekitar, setidaknya adalah seperti diuraikan berikut.

1.      Sesuai norma/etika agama, pengembangan desa wisata yang tidak melanggar ketentuan-ketentuan agama, dalam agama Islam dilarang memasukan unsur haram dalam pengembangan dan pemasaran seperti porstitusi, minuman keras, perjudian dan sebagainya.
2.      Sesuai norma/etika ekonomi, dalam hal ini hendaknya pembangunan pariwisata membawa dampak positif bagi berkembangnya perekonomian warga, tidak menghambat mata pencaharian warga dan seterusnya.
3.      Sesuai norma/etika sosial, hendaknya pengembangan pariwisata tidak merubah struktur kehidupan sosial warga kearah negatif contohnya pergaulan bebas, lunturnya sopan santun dan seterusnya.
4.      Sesuai norma/etika berbudaya, tidak melakukan komersialisasi budaya, pengembangan pariwisata hendaknya tidak membawa pengaruh negatif budaya modern kepada perubahan kearifan lokal yang ada. Akan tetapi transfer pengetahuan dan teknologi tetap perlu.
5.      Menerapkan persaingan sehat yang lebih tepatnya adalah sinergi untuk mencapai kemajuan bersama dengan mitra bisnis kita.

Demikian tulisan saya mengenai pengembangan dan strategi pemasaran inti bisnis pariwisata (desa wisata), dengan 12 unsur pemasaran yang telah saya uraikan diatas diharapkan menjadi wawasan baru bagi pembaca, setidaknya sedikit memberi informasi dan ide baru mengenai pemasaran



Untuk perencanaan bisnis wsiata yang matang jangan lupakan hospilatity, apa itu? Baca artikelnya disini 


Sumber Inspirasi
Anonim. 2013. Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XVI. Badan Pusat Statistik
Anonim. 2003. Petunjuk Teknis Penelitian Budaya. Yogyakarta : Proyek
Pemanfaatan Kebudayaan Daerah DIY 2003
Anonim. 2013. Statistik Kepariwisataan 2012. Yogyakarta : Dinas Pariwisata
DIY
Bull, Adrian. 1995. The Economic Of Travel And Tourism. Longman House.
Australia
Francis Wahono. 2015. Pemasaran Strategik Humanis. Yogyakarta : Universitas  
Sarjana Wiyata.
Gursoy, D.,Jurowsky, C. dan Uysal, M. 2002. Resident attitudes : A structural
modeling Aproach. Annals of Tourism Research.
Heath, Ernie.,Wall,Geofrey.1992. Marketing Tourism Destinations. John Wiley
and Sons. Inc. Canada
Hary Hermawan. 2014. Dampak Pengembangan Desa Wisata Terhadap Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat Lokal. Skripsi. Yogyakarta : STP AMPTA
Ihromi. 2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia
Pitana, I Gede  dan Putu G.Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta :


Penerbit Andi