Wednesday, June 12, 2019

Konsep dan Definisi Wisata Bencana (Dark Tourism)

Seiring berjalanya waktu destinasi wisata semakin hari semakin kaya dengan berbagai macam atraksi serta model pengembangan pariwisatanya. Mulai dari wisata alam, budaya, wisata bauatan, minat khusus, wisata sejarah kekelaman masa lalu (dark tourism)  dan yang terakhir akan dibahas adalah  wisata bencana.

wisata bencana
Wisata Bencana Lava Tour, Sumber https://www.facebook.com/lavatourmerapijeep
Wisata bencana mulai berkembang di berbagai daerah rawan bencana, salah satunya di Kota Wisata, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagian wilayah di Yogyakarta pada dasarnya merupakan kawasan rawan bencana. Badan Penganggulangan Bencana Daerah (BPBD) Yogyakarta menyebutkan bahwa gempa yang tercacat dalam literaturnya sebanyak 7 kali gempa tektonik, dari rentang tahun 1867, 1937, 1943, 1976, 1981, 2001 dan 2006. Gempa terbesar yakni tahun 1867, 1943 dan 2006.

Yogyakarta tidak hanya rawan gempa tektonik saja, disebutkan juga bahwa yogyakarta rawan bencana gunung meletus. Yogyakarta mempunyai  gunung aktif Merapi yang sudah 33 kali meletus dari 300 tahun yang lalu. Mengacu dari data kementerian Energi Sumber Daya Mineral Badan Geologi. Perlu diketahui bahwa Gunung Merapi yang berada di antara Yogyakarta dan Jawa Tengah adalah gunung api teraktif di pulau Jawa bahwa dunia. Bahkan letusan Gunung Merapi tahun 2010 merupakan letusan yang terbesar karena mampu memuntahkan material vulkanik hingga mencapai 140 juta meter kubik.

Wilayah- wilayah terdampak bencana di Yogyakarta ternyata tidak selamanya berputus asa menyerah pada bencana. Dibalik benccana yang pernah melada ternyata beberapa wilayah justru mampu bangkit dan berkembang pariwsiatanya.

wisata bencana
Wisata Bencana Lava Tour, Sumber https://www.facebook.com/lavatourmerapijeep
Fenomena pariwisata berbasis komunitas pasca bencana di Yogyakarta memang cukup unik. Sebagian wisata berbasis warga dibangun atas semangat untuk bangkit dari keterpurukan pasca bencana terjadi (letusan Merapi maupun gempa tektonik). Semisal Desa Nglanggeran, Gunung Kidul. Desa wisata ini dibangun pasca gempa tektonik Yogyakarta tahun 2006. Keunikan desa ini adalah geowisata Gunung Purba Nglanggeran, serta ditambah ekowisata berbasis minat khusus lainnya. Kemudian  Desa Wisata Dusun Ngelepen, Prambanan, Sleman yang sering juga disebut dengan Dusun Teletabies, dikarenakan rumah yang dibangun di dusun tersebut serupa dome seperti rumah Teletabies pada serial anak-anak Teletabies. Para wisatawan yang berkunjung di dusun tersebut dipersilahkan melihat bagaimana masyarakat dusun tersebut beraktifitas diantara rumah-rumahnya yang unik. Para wisatawan pun bisa menginap di rumah penginapan serupa dome tersebut, untuk menikmati bagaimana rasanya hidup dalam rumah “Teletabies”.

Dari sekian destinasi wisata berbasis komunitas dan kebencanaan di Yogyakarta, fenomena kepariwisataan komunitas berbasis kebencanaan yang menarik salah satunya adalah di kecamatan Cangkringan, Sleman,  Yogyakarta dengan daya tarik wisata lava tournya. Kecamatan Cangkringan berjarak hanya 7-10 Km dari puncak Gunung Merapi. Sebagian dari wilayah Cangkringan masuk dalam Kawasan rawan bencana III. Kawasan ini sudah sering kali terkena dampak letusan merapi sehingga menimbulkan bentang alam yang begitu unik dan dinamis dari waktu ke waktu. Sedangkan Lava Tour merupakan salah satu atraksi pariwisata yang ditawarkan oleh masyarakat di lereng Gunung Merapi.

Hadirnya fenomena Lava Tour adalah sebuah keunikan dalam model wisata. Lava Tour pada dasarnya adalah sebuah kemasan wisata yang merujuk pada bencana (tepatnya pasca bencana) sebagai komoditas pariwisata.

Suatu kontradiksi di kalangan ilmuan pariwisata bahwa adanya wisata bencana masih terdapat perbedaan pendapat, antara yang pro dan yang kontra. Beberapa pendapat yang kontra misalnya “Wisatawan pada dasarnya datang untuk mendapatkan hiburan, bukan ingin melakukan penelitian maupun observasi. Maka sesungguhnya konsep wisata bencana pada dasarnya adalah hal yang paradoks dan terkesan aneh dan negatif” (McKercher, 1993) dan (Sharpley, 2006). Beberapa juga menganggap bencana bukanlah sebuah tontonan, dan tidak selayaknya bersenang-senang diatas penderitaan orang lain. “Pada dasarnya tujuan wisata bencana adalah hanya tertarik pada kehancuran, bukan berniat untuk menolong” (Potts, 2006; Miller, 2008).

Kemudian pada sisi pro mengatakan bahwa “Wisata bencana pada dasarnya sebagai kendaraan memahami bagaimana dampak bencana nampak melalui tur wisata (Miller, 2008). Fenomena wisata yang menjadikan bencana sebagai “tontonan” memang sulit dihindarkan. Arus masyarakat untuk datang sendiri melihat peristiwa bencana dipengaruhi oleh media massa dalam hal ini jurnalis maupun pejabat pemerintah yang memperlihatkan “tur” mereka di wilayah bencana. Secara tidak langsung media massa dan pejabat pemeritah telah mempromosikan kawasan tersebut (Pezzulo, 2010).

Perdebatan tentang bencana bisa menjadi komoditas wisata atau tidak adalah mengacu pada definisi pariwisata sebagai “Kegiatan rekreasi diluar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain” (Damanik & Weber, 2006)Pada umumnya wisata adalah aktifitas seseorang atau kelompok yang keluar dari domisilinya untuk mengisi waktu luang (leisure) dengan hiburan. Pendekatan definisi-definisi yang sifatnya konvensional seperti diatas ini yang membuat fenomena bencana sebagai wisata menjadi perdebatan.

Dari berbagai kajian diketahui latar belakang munculnnya pariwisata adalah untuk mengembalikan kembali ke kondisi awal setelah dilanda bencana, Masyarakat lokal akhirnya harus bernegosiasi dengan bisnis wisata sebagai  solusi ekonomi mereka. Mau membuka diri dengan menjadikan bencana sebagai komoditas wisata demi mengembalikan kondisi ekonomi mereka. Hal inilah yang terjadi di Yogyakarta pasca erupsi Gunung Merapi, maupun di kota lain di dunia seperti di New Orleans pasca badai Catrina.
disaster tourism
Erupsi Gunung Berapi, Sumber fdestianz.blogspot.com
Lalu apa sebenarnya wisata bencana itu ? serta bagaimanakah pola pengembanganya?
Dalam riset, Zein Mufarrih Muktaf (2017) mengajukan konsep wisata bencana sebagai berikut :
Wisata bencana pada dasarnya adalah wisata edukasi yang membawa kehancuran, kematian dan kehidupan kembali sebagai  daya tarik wisata. Kesaksian korban, serta lokasi peristiwa menjadi hal yang ontentik untuk diperhatikan. Kaitan dampak emosional dari wisata bencana lebih terasa daripada mempelajari bencana di museum.

Wisata bencana menghadirkan trip atau tur sebagai bagian dari kemasan wisata. Wisatawan bisa melihat langsung bagaimana bencana terjadi. Hal ini seperti yang dilakukan dalam wisata bencana Lava Tour di lereng Gunung Merapi Yogakarta.
Bagaimana padanagan masyarakat tuan rumah terhadap pariwisata? pelajari disini

Peran komunikasi antara penggerak wisata dan wisatawan menjadi sangat penting, yakni bertugas menceritakan kronologi peristiwa kepada wisatawan, dan akan lebih baik jika yang menceritakan adalah korban langsung atau saksi mata langsung, karena lebih otentik dan meyakinkan. Keempat, wisata bencana lebih mengutamakan interaksi antara saksi dan wisatawan. Hal inilah yang membedakan dengan wisata di museum. Di wisata museum wisatawan harus lebih aktif, Jika mengunakan pemandu wisata, posisi pemandu wisata hanya sebatas penyampai informasi, bukan saksi mata, korban atau ahli. Hal inilah yang membuat wisata bencana lebih mempunyai dampak yang tinggi terhadap wisatawan.

Wisata bencana bisa menjadi bagian dari literasi bencana, dikarenakan saksi atau korban menjelaskan banyak hal tentang kebencanaan.

Ditulis berdasarkan intisari  hasil riset Zein Mufarrih Muktaf (2017)

No comments:
Write komentar