Partisipasi
masyarakat adalah
keikutsertaan, keterlibatan, dan kesamaan
anggota masyarakat dalam suatu
kegiatan tertentu baik
secara langsung maupu tidak
langsung, sejak dari gagasan
perumusan kebijakan,
pelaksanaan program dan evaluasi (Rubiantoro dan Haryanto, 2013). Partisipasi
masyarakat merupakan dasar untuk menciptakan pariwisata berkelanjutan;
masyarakat. Partisipasi memainkan peran penting dalam tahap perencanaan hingga
implementasinya (Lind & Simmons, 2017).
Tujuan dari partisipasi masyarakat adalah agar masyarakat
sadar bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan, dan mereka
berhak mendapat manfaat dari pariwisata pengembangan yang telah mereka
rencanakan (Tosun, 2000). Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dari proses
perencanaan untuk pengambilan keputusan umumnya dianggap wajib (Chok, Macbeth &
Warren, 2007).
Pendekatan partisipatif akan memungkinkan penerapan prinsip
pariwisata berkelanjutan itu akan mengarahkan masyarakat menuju sikap positif dengan
terciptanya upaya pelestarian sumber daya alam lokal dan dengan demikian
pelestarian lingkungan (Tosun, 2006). Warga yang berpartisipasi dalam
pengelolaan dan pengembangan pariwisata akan mendapat manfaat dalam bentuk
peningkatan kualitas kehidupan pariwisata dan pelestarian lingkungan sekitarnya
(Nicholas, Thapa & Ko, 2009). Dengan
adanya partisipasi masyarakat, pengembangan desa
wisata cenderung membawa dampak
yang positif bagi masyarakat lokal (Hermawan, 2016a). Selain
itu, manfaat yang akan mereka dapatkan adalah meningkatkan kepemilikan,
meningkat pengembangan jejaring sosial, dan menanamkan apresiasi dan pemahaman
yang lebih besar tentang nilai area lokal (Gursoy, Jurowski & Uysal, 2002;
Tosun & Timothy, 2003).
Dalam kasus pariwisata pedesaan, kadang-kadang gagasan untuk
menciptakan dan mengembangkan turis baru Daya tarik tidak selalu berpusat pada
pemerintah. Menurut Lamberti et al. (2011), Gagasan untuk mengembangkan objek
wisata baru terkadang berasal dari komunitas lokal itu sendiri. Beberapa warga
yang merupakan pencetus ide pengembangan pariwisata disebut agen cosmopolitan,
mereka memainkan peran penting dalam mempercepat pengembangan pariwisata lokal.
Agen kosmopolitan adalah penghuni berpengetahuan dan
berpengetahuan luas yang mengambil inisiatif dan bertindak sebagai katalis
dalam pengembangan pariwisata (Iorio & Corsale, 2014). Mereka juga
membangun sosial modal untuk menciptakan ikatan dan memperkuat hubungan antara
anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama (Jóhannesson, Skaptadóttir
& Benediktsson, 2003). Di dalam partisipatif proses perencanaan, para
pemangku kepentingan berkumpul untuk berdiskusi; mereka berbagi ide untuk
dirumuskan tujuan bersama, menetapkan rencana bersama untuk melaksanakan
rencana tersebut bersama-sama (Nicolaides, 2015; Araujo & Bramwell, 1999).
Proses selanjutnya adalah agar masyarakat membentuk komite
koordinasi meningkatkan komunikasi, transfer pengetahuan dan keterampilan
antara anggota masyarakat (Beritelli,
2011). Hal ini dimaksudkan agar untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan dan
upaya teknis di antara anggota masyarakat (Frisk & Larson, 2011) sehingga
desa semakin menjadi rumah untuk "penduduk desa" (Ballesteros &
Feria, 2016).
Arnstein (1969) menggambarkan partisipasi masyarakat
sebagai suatu pola bertingkat
(ladder patern) yang tediri
dari 8 tingkat,
dimana tingkatan paling bawah
merupakan tingkat
partisipasi masyarakat sangat
rendah, menengah, kemudian tingkat
yang paling atas merupakan
tingkat dimana partisipasi masyarakat
sudah sangat besar dan kuat.
Bagian pertama
Nonparticipan (tidak ada partisipasi),
dari Manipulation dan
Therapy. Pada bagian ini, inisiator atau otoritas yang berkuasa
sengaja menghapus segala
bentuk partisipasi publik. Pada tingkat
Manipulation, mereka memilih dan
mendidik sejumlah orang sebagai
wakil dari publik. Fungsinya, ketika
mereka mengajukan berbagai
program, maka para
wakil publik tadi harus selau
menyetujuinya. Sedangkan publik
tidak diberitahu tentang hal tersebut.
Pada tingkat Therapy, inisiator
sedikit memberitahu kepada publik
tentang beberapa programnya yang
sudah disetujui oleh wakil
publik. Publik hanya
bisa mendengarkan saja.
Bagian kedua, Tokenism (delusif) dengan rentang
dari Informing, Consultation
dan Placation. Dalam Tokenism, otoritas yang
berkuasa menciptakan citra, tidak
lagi menghalangi partisipasi publik.
Akan tetapi kenyataan yang
terjadi berbeda, benar partisipasi
publik dibiarkan, namun mereka
mengabaikannya dan mereka tetap
mengeksekusi rencananya semula. Ketika
berada di tingkat Informing, inisiator
program menginformasikan
macam-macam program yang akan
dan sudah dilaksanakan namun
hanya dikomunikasikan
searah, dan public belum
dapat melakukan komunikasi umpan-balik secara
langsung. Untuk tingkat Consultation,
inisiator berdiskusi dengan banyak elemen
publik tentang berbagai agenda.
Semua saran dan kritik didengarkan
tetapi mereka yang mempunyai kuasa memutuskan, apakah saran dan kritik
dari publik dipakai atau tidak.
Pada tingkat Placation, inisiator berjanji melakukan berbagai saran
dan kritik dari publik, namun
mereka diamdiam menjalankan rencananya semula. Partnership, Delegated Power dan Citizen Control merupakan jajaran tingkatan di bagian ketiga, yaitu Citizen
Power (publik berdaya).
Saat partisipasi publik
telah mencapai Citizen Power, maka otoritas
yang berkuasa sedang benar-benar mendahulukan peran public
dalam berbagai hal. Saat
berada pada tingkat Partnership, mereka memperlakukan publik selayaknya rekan
kerja. Mereka bermitra
dalam merancang dan mengimplementasi aneka kebijakan publik. Naik ke tingkat Delegated Power,
mereka mendelegasikan
beberapa kewenangan kepada publik.
Contoh, publik punya hak
veto dalam proses
pengambilan keputusan.
Tingkat tertinggi yaitu Citizen Control.
Pada tingkatan ini publik
lebih mendominasi ketimbang mereka (otoritas),
bahkan sampai dengan mengevaluasi
kinerja mereka. Partisipasi publik yang ideal tercipta di tingkat ini.