Friday, June 21, 2019

Perencanaan Transportasi Wisata


Dalam kuliah pariwisata kita selalu berkutat pada teori 3A yaitu atraksi (daya tarik wisata), aksebilitas(transportasi), dan amenitas (sarana/prasarana wisata). Menurut sepengetahuan saya, dari ketiga aspek diatas aksebilitas merupakan merupakan aspek yang memiliki peroporsi yang paling sedikit dekaji dalam kuliah dibanding dua faktor lainya. Untuk itu dalam tulisan saya kali ini saya akan merangkum beberapa intisari mengenai perencanaan transportasi wisata sebagai refleksi.


transportasi wisata jogja

Perencanaan transportasi menjadi aspek penting dalam pengembangan pariwisata mengacu pada dasar logika sebagai berikut :
1.  Transportasi sebagai penghubung (daerah asal wisatawan dan destinasi/ tujuan)
2. Transportasi menunjang efisiensi, kenyamanan, keamanan yang mendukung terciptanya kepuasan berwisata secara keseluruhan.
3. Jika transportasi bagus, pariwisata cenderung berkembang
4.  Manajemen transportasi menyokong keberlangsungan sitem pariwisata
5. Transportasi merupakan aspek krusial dalam meningkatkan sistem pariwisata
6. Transportasi juga merupakan potensi lokal, tetapi tetap harus dikelola


perencanaan transportasi wisata

7. Transportasi merupakan unsur perencanaan pariwisata.Perencanaan transportasi dilakukan agar tercapai tingkat  efektifitas, ektesifitas, serta efisien secara biaya dan waktu tempuh. Efektifitas atau tepat guna berhubungan dengan upaya menciptakan keamanan dan kenyamanan wisatawan, sedangkan efisiensi menyangkut waktu tempuh dan biaya yang dikeluarkan untuk menjangkau destinasi/ tujuan. Perencanaan transportasi dapat dikatakan ektensif jika suatu jalur dan moda transportasi dapat menjangkau banyak titik/ destinasi wisata di suatu daerah.
Transportasi sebagai sarana penunjang untuk mengantar wisatawan ke daerah tujuan wisata perlu dikelola sedemikian rupa agar para wisatawan tetap segar bugar rohani dan jasmaninya. Kesegaran ini dapat diupayakan dengan pengaturan perjalanan wisata yang mengasikan, hingga jarak yang jauh terasa dekat, jangka waktu perjalanan yang lama menjadi terasa sebentar.
PERENCANAAN TRANSPORTASI WISATA
Dalam kegiatan transportasi wisata terdapat lima unsur utama yang harus selalu ada, kelima unsur tersebut antara lain moda transportasi (kendaraan), awak, jaringan jalan, sasaran wisata, dan wisatawanya
Pengelola transportasi harus menyediakan moda transportasi wisata yang memiliki kekhususan yaitu harus tangguh secara fisik, aman, nyaman, serta memiliki nuansa pariwisata (lokalitas).
Kualitas jalan dan kuantitas jaringan/ jalur yang digunakan sebagai lintasan wisata perlu dikaji sebelumnya. Idealnya setiap destinasi wisata memiliki 3 jalur, satu jalur masuk/datang, satu jalur keluar/pulang dan satu jalur alternatif. Dengan demikian perjalanan wisata akan lebih efektif dalam menjangkau destinasi, serta lebih efisien secara waktu.
Selain kemampuan jaringan jalan yang akan digunakan, kemungkinan terjadi macet pada waktu tertentu, demikian pula kemungkinan terjadinya gangguan alam seperti bencana banjir, tanah longsor dan sebagainya juga wajib menjadi pertimbangan pengelola transportasi.
Sedangkan peranan para awak pada moda transportasi adalah untuk membangkitkan simpati wisatawan. Pelayanan dan tanggung jawab para awak juga berperan penting dalam mewujudkan kepuasan wisatawan secara keseluruhan terhadap salah satu moda transportasi. Untuk itu pelatihan kompetensi bagi sumber daya manusia yang terlibat perlu selalu ditingkatkan. Sebagai contoh kasus, ada wisatawan yang mudah merasa cemas ketika melihat sesuatu dalam perjalanan misalnya tebing yang curam (caustro phobia), maka awak dapat menguranginya dengan berhenti sebentar untuk istirahat di suatu tempat di suatu tempat yang segar. Dalam hal inilah seorang awak harus mengenal betul karakter wisatawan dan kualitas jalur yang sudah ditentukan sebagai lintasan wisata.


PERENCANAAN TRANSPORTASI WISATA

Selain beberapa hal yang saya sebutkan diatas, tata alam dan tata adat masyarakat yang memiliki kekhasan daya tarik perlu dipertimbangkan dan dipelajari, sebab tata alam dan tata adat masyarakat yang dapat disaksikan selama perjalanan juga merupakan daya tarik bagi para wisatawan. Jadi sebelum wisatawan sampai pada destinasi tujuan, wisatawan juga menyaksikan berbagai daya tarik wisata yang ada disepanjang jalan selama perjalanan, sehingga mampu memberikan pengalaman dan kepuasan secara keseluruhan terhadap perjalanan wisatanya. Rekayasa jalur dapat dibuat sedemikian rupa melawati beberapa point of interest guna membantu menwujudkanya pengalaman perjalanan yang mengesankan.


Baca Juga : Pesona Desa Wisata Gamplong


perencanaan transportasi wisata

                                                 Peta jalur kawasan pantai gunung kidul
perencanaan transportasi wisata

                                               Jalur dengan point of interest berupa pantai

Perencanaan Pariwisata Secara Umum

Salah satu unsur yang sangat menentukan perkembangan industri pariwisata adalah obyek wisata dan atraksi wisata. Secara pintas produk wisata dengan obyek wisata serta atraksi wisata seolah-olah memiliki pengertian yang sama, namun sebenarnya memiliki perbedaan secara prinsipil. (Yoeti, 1996 : 172)  menjelaskan bahwa di luar negeri terminolgi obyek wisata tidak dikenal, disana hanya mengenal atraksi wisata yang mereka sebut dengan nama Tourist Attraction sedangkan di Negara Indonesia keduanya dikenal dan keduanya memiliki pengertian masing-masing.

Pengertian dari Obyek Wisata, adalah semua hal yang menarik untuk dilihat dan dirasakan oleh wisatawan yang disediakan atau bersumber pada alam saja.

Sedangkan pengertian dari pada Atraksi Wisata, yaitu sesuatu yang menarik untuk dilihat, dirasakan, dinikmati dan dimiliki oleh wisatawan. Jenis-jenis atraksi wisata (daya tarik wisata) menurut literatur dapat digolongkan menjadi atraksi alam, atraksi budaya, dan atraksi buatan.

Daya tarik wisata alam adalah segala keunikan, keindahan dan keaslian keanekaragaman kekayaan alam hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Daya tarik wisata alam dapat berupa sesuatu yang tetap dan dapat dinikmati keindahanya seperti hutan, sungai, danau, pantai, laut dan sebagainya. Selain itu adapula daya tarik wisata alam yang tidak tetap atau bergerak misalnya fenomena migrasi binatang, pasang surut lautan, bunga yang indah. Daya tarik wisata alam yang tidak tetap ini hanya dapat dinikmati pada waktu-waktu atau musim tertentu saja.

Daya tarik wisata budaya adalah segala keunikan, keindahan dan keaslian (otentik)  keanekaragaman kekayaan hasil kebudayaan setempat. Daya tarik wisata budaya dapat berupa hasil kebudayaan yang berwujud (tangible) seperti rumah adat, candi, benda-benda kesenian dan sebagainya. Selain itu, daya tarik wisata budaya dapat juga berupa hasil kebudayaan yang tidak berwujud fisik (intangible) seperti bahasa daerah, tari-tarian, upacara adat daur hidup, pertujukan, sistem tata cara pertanian sederhana serta berbagai macam kearifan lokal lainya.

Sedangkan yang dimaksud daya tarik wisata buatan adalah segala keunikan, keindahan keanekaragaman kekayaan hasil cipta rasa dan karya manusia, ataupun hasil dari sebuah kreatifitas yang berupa implementasi ide dan seni. 

Suatu daerah atau kawasan dapat dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata, untuk memenuhi sebagai daerah tujuan wisata yang layak untuk dikunjungi setidaknya ada 3 (tiga) hal yang harus dikembangkan yaitu :

1.      Adanya something to see
Maksudnya adalah sesuatu yang menarik untuk dilihat, dapat berupa fenomena alam, seni dan budaya, atau kreatifitas manusia lainya.
2.      Adanya something to buy
Maksudnya adalah suatu kawasan wisata hendaknya memiliki sesuatu yang menarik dan khas yang dapat dibeli oleh wisatawan. Produk-produk lokal dijajakan oleh masyarakat harapanya selain sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi wisatawan dan kenang-kenangan juga mampu menambah pendapatan ekonomi masyarakat di kawasan wisata.
3. Adanya something to do
Maksudnya adalah sesuatu aktivitas yang dapat dilakukan di tempat itu. Setidaknya ada beberapa alternativ kegiatan dalam satu kawasan wisata, misalnya di pantai Goa Cemara selain dapat menikmati deburan ombak yang khas, wisatawan dapat melakukan berbagai aktifitas lainya disana misalnya, ikut lelang ikan segar yang baru saja dibawa nelayan, bisa berteduh di bawah pohon cemara bersama keluarga sambil santap siang dengan bekal yang dibawa, selain itu wisatawan juga dapat berbelanja berbagai produk kerajinan disana. Berbagai alternativ kegiatan yang ada dalam sebuah kawasan wisata dapat dipilih beberapa yang diunggulkan sebagai point of interest.  

Ketiga hal di atas merupakan hal penting yang dapat menjadi pertimbangan untuk dioptimalkan dalam pengelolaanya. Sedangkan dalam hal pengembangan suatu daerah tujuan wisata setidaknya harus ada beberapa hal berikut yang juga wajib dipegang pengelola sebagai prinsip-prinsip pengembangan. 

1. Pengembangan kawasan wisata yang dilakukan setidaknya telah mampu untuk bersaing dengan obyek wisata yang ada dan serupa dengan objek wisata di tempat lain.
2. Pengembangan kawasan wisata harus tetap, tidak berubah dan tidak berpindah-pindah kecuali dari bidang pembangunan dan pengembangan.
3. Harus memiliki sarana dan prasarana yang memadai serta mempunyai ciri-ciri khas tersendiri.
4. Pengembangan kawasan wisata harus menarik dalam pengertian secara umum (bukan pengertian dari subjektif) dan sadar wisata masyarakat setempat. 
5. Memahami karakteristik, sifat-sifat unik dan kerentanan mengenai objek yang mempunyai potensi untuk diangkat sebagai atraksi
6. Memahami karakteristik pasar (asal, demografis, total expenditure dll)
7 Mencari signifikansi hubungan yang menguntungkan terutama kedua belah pihak (atraksi dan pasar) maupun masyarakat umum dan industri pariwisata
8.  Mencari kekurangan dan kelebihan yang telah dimiliki oleh objek atas dasar assessment mendalam berdasarkan sudut pandang pasar, masyarakat, industri, dan kebijakan pemerintah
9 Menentukan strategi mempertahankan kelebihan untuk      menjaga agar tidak terjadi degradasi objek oleh akibat eksplorasi      pariwisata
10. Menentukan strategi mengembangkan / memperbaiki kekurangan-kekurangan  agar dapat memenuhi standar atau permintaan minimal pasar dan stakeholder
11. Menyusun program-program sebagai konsekuensi dari kedua butir terakhir di atas.

Beberapa konsep pengembangan (pembangunan) pariwisata yang dianggap benar dan ramah  terhadap lingkungan (sosial, alam dan budaya) diantaranya adalah pariwisata berkelanjutan dan pariwisata berbasis komunitas. Kedua konsep pengembangan inilah yang saat ini menjadi acuan baik bagi kalangan akademisi maupun praktisi.

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan saat ini tanpa perlu merusak atau menurunkan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan merupakan strategi pembangunan yang memberikan batasan pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah dan sumberdaya yang ada didalamnya. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah semacam strategi dalam pemanfaatan ekosistem alamiah dengan cara tertentu sehingga kapasitas fungsionalnya tidak rusak untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia. 

Pembangunan berkelanjutan tidak saja untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga untuk kesejahteraan masyarakat generasi mendatang. Dengan demikian diharapkan bahwa kita tidak saja mampu melaksanakan pengelolaan pembangunan yang ditugaskan (to do the thing right), tetapi juga dituntut untuk mampu mengelolanya dengan suatu lingkup yang lebih menyeluruh (to do the right thing. Dimensi pengembangan atau pengembangan pariwisata berkelanjutan adalah sebagai berikut :
  1.  Prinsip pembangunan yang berpijak pada aspek pelestarian dan berorientasi jangka panjan
  2.  Penekanan pada nilai manfaat bagi masyarakat lokal
  3. Prinsip pengelolaan aset sumber daya yang lestari
  4. Kesesuaian antara kegiatan pengembangan dengan skala, kondisi dan karakter daerah
  5. Keselarasan yang sinergis antara kebutuhan pengembangan, lingkungan hidup dan masyarakat lokal
  6.  Antisipasi yang tepat dan monitoring terhadap proses perubahan (pembangunan pariwisata yang berkelanjutan) akan melandasi  pengembangan kepariwisataan yang berprinsip pada : quality of experience (kuaiitas pengalaman berwisata); quality of resources (kualitas surnber daya wisata); quality of local people (kualitas masyarakat lokal). Jika diterapkan pada strategi pemasaran, maka prinsip-prinsip ini akan berwujud pada responsible tourism marketing (strategi pemasaran pariwisata yang bertanggungjawab).  
Selain itu dalam Deklarasi Rio pada tahun 1992 adalah sebagai berikut (UNCED, The Rio Declaration on Environment and Development, 1992 dalam Mitchell et al., 2003) juga telah menjadi kesepakatan bahwa pengembangan pariwisata hendaknya berpedoman pada prinsip -prinsip pengembangan/ pembangunan berkelanjutan diantaranya :Prinsip 1: Manusia menjadi pusat perhatian dari pembangunan berkelanjutan. Mereka hidup secara sehat dan produktif, selaras dengan alam.
Prinsip 2: Negara mempunyai, dalam hubungannya dengan the Charter of the United Nations dan prinsip hukum internasional, hak penguasa utnuk mengeksploitasi sumberdaya mereka yang sesuai dengan kebijakan lingkungan dan pembangunan mereka.
Prinsip 3: Hak untuk melakukan pembangunan harus diisi guna memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan yang sama dari generasi sekarang dan yang akan datang.
Prinsip 4: Dalam rangka pencapaian pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan seharusnya menjadi bagian yang integral dari proses pembangunan dan tidak dapat dianggap sebagai bagian terpisah dari proses tersebut.

Prinsip 5: Semua negara dan masyarakat harus bekerjasama memerangi kemiskinan yang merupakan hambatan mencapai pembangunan berkelanjut.
Prinsip 8: Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik, negara harus menurunkan atau mengurangi pola konsumsi dan produksi, serta mempromosikan kebijakan demografi yang sesuai.
Prinsip 9: Negara harus memperkuat kapasitas yang dimiliki untuk pembangunan berlanjut melalui peningkatan pemahaman secara keilmuan dengan pertukaran ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dengan meningkatkan pembangunan, adapatasi, alih teknologi, termasuk teknologi baru dan inovasi teknologi.
Prinsip 10: Penanganan terbaik isu-isu lingkungan adalah dengan partisipasi seluruh masyarakat yang tanggap terhadap lingkungan dari berbagai tingkatan. Di tingkat nasional, masing-masing individu harus mempunyai akses terhadap informasi tentang lingkungan, termasuk informasi tentang material dan kegiatan berbahaya dalam lingkungan masyarakat, serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Negara harus memfasilitasi dan mendorong masyarakat untuk tanggap dan partisipasi melalui pembuatan informasi yang dapat diketahui secara luas.
Prinsip 11: Dalam rangka mempertahankan lingkungan, pendekatan pencegahan harus diterapkan secara menyeluruh oleh negara sesuai dengan kemampuannya. Apabila terdapat ancaman serius atau kerusakan yang tak dapat dipulihkan, kekurangan ilmu pengetahuan seharusnya tidak dipakai sebagai alasan penundaan pengukuran biaya untuk mencegah penurunan kualitas lingkungan.
Prinsip 12: Penilaian dampak lingkungan sebagai instrumen nasional harus dilakukan untuk kegiatan-kegiatan yang diusulkan, yang mungkin mempunyai dampak langsung terhadap lingkungan yang memerlukan keputusan di tingkat nasional.
Prinsip 13: Wanita mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan. Partisipasi penuh mereka perlu untuk mencapai pembangunan berlanjut.
Prinsip 14: Penduduk asli dan setempat mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pemahaman dan pengetahuan tradisional mereka. Negara harus mengenal dan mendorong sepenuhnya identitas, budaya dan keinginan mereka serta menguatkan partisipasi mereka secara efektif dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. 

      Konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan biasanya berjalan selaras dengan konsep pariwisata berbasisi masyarakat (CBT). Kedua konsep ini bersifat saling bersinergi

      "CBT adalah bentuk kegiatan pariwisata, dimana “komunitas lokal memiliki peran kontrol yang sangat sentral, dan keterlibatan dalam pengembangan dan pengelolaan, dan bahwa proporsi dampak manfaat dapat diserap oleh komunitas setempat.”

Prinsip-prinsip dalam Community Based Development (CBT) adalah sebagai berikut :
1.      Small Scale: mulai dari lapis bawah, menekankan pada pemenuhan basic need dan self reliance;
2.      Proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat, di mana otoritas tertinggi ada di masyarakat lokal;
3.      Memegang prinsip-prinsip kesamaan sekaligus perbedaan dan ketimpangan;
4.      Memanfaatkan secara optimal sumber daya lokal;
5.      Tidak mengabaikan identitas lokal (local identity);
6.      Menekankan pada human capital bukan financial capital;
7.      Menekankan pada manfaat dan distribusi produksi bukan  akumulasi modal/ kapital.

Fokus utama dalam penerapan pariwisata berbasis masyarakt adalah pada beberapa hal berikut :
  1. Penguatan Usaha Ekonomi Masyarakat (terkait dengan upaya meningkatkan nilai manfaat ekonomi bagi masyarakat)
  2. Penguatan kelembagaan masyarakat (terkait dengan upaya peningkatan kapasitas dan peran masyarakat untuk turun aktif dalam kegiatan pembangunan kepariwistaan)
  3. Penguatan “Sadar Wisata” (terkait dengan upaya menigkatkan kesadaran dan peran masyarakat dalam mendukung pengembangan kepariwistaan serta dapat menjadi pelaku pariwisata/wisata
  4. Memanfaatkan secara optimal sumber daya lokal.  Aspek keterlibatan masyarakat lokal meliputi 3 (TIGA) AREA, yaitu tahap PERENCANAAN (planning stage), IMPLEMENTASI ATAU PELAKSANAAN (implementation stage), serta dalam hal MENDAPATKAN KEUNTUNGAN (share benefits) baik secara sosial ekonomi budaya. 
Demikian beberapa hal yang dapat saya bagi kepada pembaca mengenai perencanaan dan pengembangan kawasa wisata, saya menyadari tulisan saya masih jauh dari kata sempurna karena masih berupa konsep dan angan-angan dalam pemikiran saya serta kurangnya contoh-contoh yang relevan. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami tunggu untuk kelanjutan penyempurnaan tulisan saya ini.



Community Based Tourism



community based tourism development
Daya trik budaya berbasis sosial-budaya masyarakat, sumber : Dokumentasi penulis
Cooper  (dalam Hermantoro, 2013: 79), menyebutkan bahwa unsur-unsur terpentig yang merupakan elemen dasar destinasi pariwisata adalah atraksi wisata (attraction), sarana dan prasarana (amenity), aksebilitas (accessibility), citra destinasi (image), dan harga (price).
Dalam perjalananya, pariwisata kemudian memberikan perhatian lebih serius pada unsur komunitas lokal sebagai unsur penting dalam sebuah destinasi. Menurut Hermantoro (2013: 80), paling tidak ada tiga hal yang mendasari perkembangan pemikiran ini, antara lain sebagai berikut.
a.       Masyarakat lokal adalah bagian dari atraksi di sebuah destinasi. Minat sebuah perjalanan wisatawan tidak lagi pada kunjungan dalam sebuah ruang kosong, namun wisatawan memerlukan pula interaksi dengan masyarakat lokal. Peran masyarakat lokal adalah penting, serta mampu membuat daya tarik wisata berbasis benda atau alam menjadi lebih menarik.
b.      Pariwisata akan bertumpu pada kepemilikan publik serta kepemilikan komunitas.
Fasilitas yang ada hanya sekedar sebagai pelengkap bagi sebuah kenyamanan berwisata, tetapi wisatawan datang ke sebuah destinasi bukan karena hotel maupun restoranya. Wisatawan datang ke suatu destinasi lebih disebabkan oleh kekuatan alam terlebih budaya komunitas lokalnya. Jadi, komunitas lokal merupakan manajer pembangunan pariwisata yang sebenarnya di daerahnya, yang mampu memberi warna dan keunikan bagi destinasiya.
c.       Berbagai dampak negatif dari kunjungan wisatawan telah menyebabkan adanya pemikiran pada konsep pariwisata berkelanjutan berbasis masyarakat lokal dalam sebuah destinasi wisata. Hal ini juga mendasari munculnya konsep pembangunan pariwisata berbasis komunitas (community based tourism development).
Pariwisata berbasis masyarakat merupakan pengembangan pariwisata dengan tingkat keterlibatan masyarakat setempat yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan dari aspek sosial dan lingkungan hidup (CIFOR  dalam Hayati, 2016).
World Wide Found for Nature (WWF) menyatakan Community Based Tourism (CBT) sebagai “Form of tourism where the local community has a substantial control over and involvement in its development and management; and a major proportional of the benefits remain within the community.” Jika diartikan secara bebas pariwisata berbasis masyarakat juga dapat dimaknai sebagai penyediaan produk, jasa, ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat ditemukan di dalam komunitas lokal, serta ditawarkan oleh pelaku/ steakholder lokal sendiri (www.cbtkyrgyztan.kg, diakses tanggal 15 Agustus 2016).

candi plaosan
Candi Plaosan, Sumber : Foto Pribadi
Inayatullah (dalam Darmawai, 2010) medefinisikan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat atau Community based Tourism Development (CBT), sebagai pengembangan pariwisata yang kekuatannya pada masyarakat dan berwawasan lingkungan yang alami serta menjunjung tinggi nilai budaya tradisional. .
Community Based Tourism (CBT) menurut Darmawi (2010) merupakan konsep pengembangan pariwisata yang mendukung bentuk kepariwisataan dengan menggunakan sumber daya lingkungan secara optimal baik sumber daya alam maupun masyarakatnya, menghormati keaslian sosial budaya setempat, memberikan manfaat ekonomi untuk jangka panjang, dan menyediakan pengalaman yang berkualitas tinggi kepada wisatawan serta mempertahankan kepuasan.
Hal mendasar dalam memajukan pariwisata adalah dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan. Dengan membentuk Community based Tourism Development (CBT) akan melibatkan pula masyarakat dalam proses pembuatan keputusan serta perolehan bagian pendapatan terbesar secara langsung dari kehadiran wisatawan. Dengan demikian CBT akan dapat menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga dari peningkatan kegiatan pariwisata.
Hayati (2016) menjelaskan bahwa secara formal pengembangan wisata berbasis masyarakat merupakan kebijakan resmi pemerintah sebagaimana tersirat dalam prinsip kepariwisataan Indonesia yang dirumuskan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, yang mencakup prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.       Masyarakat sebagai kekuatan dasar
b.      Pariwisata: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat
c.       Pariwisata adalah kegiatan seluruh lapisan masyarakat, sedangkan pemerintah hanya merupakan fasilitator dari kegiatan pariwisata
Prinsip Community Based Tourism (CBT) menurut Darmawi, (2010) adalah menempatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama, dan pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kegiatan kepariwisataan, sehingga pemanfaatan kepariwisataan sebesar-besarnya diperuntukan bagi masyarkat lokal. Sasaran utama pengembangan kepariwisataan dengan model Community Based Tourism (CBT) adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan Suansri 2013 (dalam Rahayu, 2015), menyebutkan adanya 10 prinsip-prinsip pengembangan Comunity-Based Tourism (CBT), antara lain :
a.       Mengakui, mendukung, dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata.
Secara teoritis, ketika kebutuhan wisatawan untuk aktualisasi diri bertemu dengan kebutuhan masyarakat lokal untuk hal yang sama di destinasi wisata, maka jenis wisata yang dihasilkan akan mampu memberikan pengkayaan diri baik bagi wisatawan maupun masyarakat lokalnya (Hermantoro, 2011: 73). Dengan begitu, pengembangan pariwisata melalui Community Based Tourism (CBT)  dianggap berdampak pada pengkayaan daya tarik wisata yang semakin baik. Rasa memiliki terhadap destinasi juga mampu menjadikan msyarakat lokal lebih peduli terhadap upaya-upaya jaminan keselamatan kepada wisatawan.
b.      Mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek.
Dalam pengembangan kepariwisataan penting untuk melibatkan masyarakat lokal dalam setiap langkah pengembangan, karena keterlibatan masyarakat merupakan unsur utama untuk mewujudkan destinasi pariwisata yang berkelanjutan (Hermantoro, 2011: 74).
Komunitas juga memerlukan interaksi dengan wisatawan untuk meningkatkan daya kreatifitasnya. Realitas ini semakin terasa pada destinasi wisata yang memiliki keunikan budaya dan dengan jumlah wisatawan yang tinggi. Hasil penelitian menemukan bahwa interaksi aktif antara komunitas dan mampu menghasilkan karya-karya baru komunitas (Hermantoro, 2011: 74). Hal ini tentu sangat baik bagi pengembangan daya tarik wisata yang lebih baik dari masa ke masa.
c.       Mengembangkan kebanggaan komunitas
Berdasarkan teori motivasi tuan rumah, masyarakat membutuhkan pengakuan atas karya mereka, kreativitas mereka, dan mereka mengharapkan pula wisatwan dapat memberikan pengakuan pula atas produk yang mereka hasilkan (Hermantoro, 2011: 74).
Untuk itu pengembangan pariwisata melalui Community Based Tourism (CBT) merupakan wadah yang cocok untuk mewujudkannya, masyarakat lokal dapat terus berkarya dan wisatawan menikmatinya. Dengan begitu, karya-karya masyarakat mampu menambah kekayaan daya tarik wisata. Masyarakat juga seharusnya lebih bangga jika destinasi wisata yang dikelolanya aman dan disenangi wisatawan.
d.      Mengembangkan kualitas hidup komunitas
Pengembangan pariwisata dengan melibatkan masyarakat diharapkan mampu meningkatkan standar kualitas hidup yang lebih baik, misalnya jika sebelum ada pariwisata masyarakat tidak peduli lingkungan, dengan pengembangan pariwisata masyarakat lebih peka dan peduli terhadap lingkungan dengan tidak membuang limbah dan sampah ke alam secara sembarangan.
Diharapkan meningkatya standar kualitas hidup komunitas secara otomatis memiliki korelasi positif terhadap memingkatnya kualitas destinasi wisata, daya tarik wisata menjadi semakin baik dan lingkungan menjadi lebih aman, nyaman dan menjamin keselamatan wisatwan.
e.       Menjamin keberlanjutan lingkungan
Pengembangan pariwisata berbasis mayarakat yang dikelola berdasarkan nilai-nilai dan kearifan lokal masyarakat diharapkan mampu menjamin keberlanjutan lingkungan. Dengan lingkungan yang terjaga dengan baik, kualitas destinasi wisata juga akan terjamin mutunya.
f.       Mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area lokal.
Dengan pariwisata berbasis masyarakat, maka pengembangan pariwisata yang dilakukan tentu harus mengacu pada nilai-nilai dan kearifan lokal masyarakat setempat. Oleh karena itu diharapkan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat mampu mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area lokal, karena keunikan karakter dan budaya merupakan asset parwisata. Keunikan karakter dan budaya merupakan daya tarik wisata yang banyak dicari wisatawan
g.      Membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budaya pada komunitas
Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat diharapkan mampu memberikan pengkayaan diri, baik bagi masyarakat lokal maupun wisatawanya (Hermantoro, 2011: 73).
h.      Menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia.
Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat diharapkan mampu menjembatani toleransi yang lebih baik. Meningkatnya rasa menghargai perbedaan budaya dan martabat orang lain. Perbedaan diharapkan bukan menjadi sekat namun suatu media untuh dapat saling memahami. Meningkatnya toleransi masyarakat akan mampu membuat wisatawan merasa lebih aman dan nyaman.
i.        Mendistribusikan keuntungan secara adil pada anggota komunitas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa orientasi tujuan masyarakat  dalam mengembangkan pariwisata adalah adanya peluang bagi keuntungan ekonomi (Hermantoro, 2011: 72). Bahkan tidak jarang, pariwisata menjadi ladang perebutan kekayaan dan kekuasaan secara terang-terangan, sehingga sering menimbulkan kegaduhan serta citra yang tidak baik bagi suatu destinasi wisata.
Dalam prinsip pengembangan pariwisata berbasis masyarakat atau Community Based Tourism (CBT), keuntungan hasil pariwisata wajib didistribusikan kepada masyarakat secara adil. Dengan pembagian keuntungan yang adil maka kehidupan ekonomi masyarakat akan berjalan secara fair, masyarakat diuntungkan dan wisatawan nyaman berkunjung.
j.        Masayarakat yang berperan dalam menentukan prosentase pendapatan (pendistribusian pendapatan ) dalam proyek yang ada di komunitas.
Dalam konsep pariwisata berbasis masyarakat, atau Community Based Tourism (CBT) masyarakat bukan hanya diposisikan sebagai kelompok yang hanya sekedar menerima manfaat pariwisata, namun mereka juga harus dapat menjadi kelompok yang mampu memberikan arah bagi pembangunan/ pengembangan destinasi wisata di daerahnya. Masyarakat juga harus dapat menjadi bagian dalam pemecahan masalah (Hermantoro, 2011: 74).
community based tourism development
Penulis di Tebing Breksi, destinasi dengan pengelolaan berbasis CBT di Jogja
Diharapkan melalui Community Based Tourism (CBT), segala upaya yang dilakukan masyarakat mampu menjadi faktor yang mampu menguatkan daya tarik wisata serta tingkat keselamatan dan keamanan wisatawan. Oleh  karena  itu, tidak berlebihan jika peneliti berasumsi bahwa hidup mati suatu destinasi akan tergantung dari bagaimana masyarakat lokal sendiri dalam mengelolanya.
Game online Mobile Legend menjadi trend di kalangan anak muda, bagaimana pandangan dari sisi pariwisata? baca disini

Wednesday, June 12, 2019

Sekilas tentang Manajemen Wisata Edukasi



Pariwisata adalah salah satu industri yang paling berpotensi untuk dikembangkan di Idonesia, mengingat semakin meningkatnya permintaan produk wisata di Indonesia dari tahun ke tahun (Statistik Kepariwisataan, 2015)Pariwisata merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang dinamis dalam menciptakan perubahan ekonomi, diantaranya : diversifikasi ekonomi dan masalah industrialisasi (Yahya, 2015). Pariwisata bahkan disebut sebagai pilar proses pembangunan, karena pariwisata merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang dominan dalam kerangka pembangunan ekonomi (Wijayanti, 2017).
Pengembangan pariwisata di suatu daerah yang mampu dikelola dengan baik terbukti mampu memberikan kontribusi yang  signifikan bagi pembangunan dan perkembangan ekonomi daerah, seperti : menciptakan peluang kerja baru, meningkatkan kesempatan berusaha, meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, meningkatkan pendapatan daerah melalui retrubusi dan pajak dan lain sebagainya (Hermawan, 2016).

theme park
Outbond sebagai Wisata Edukasi
Akan tetapi, sistem otonomi daerah yang memberikan kewenangan penuh kepada masing-masing kabupaten/ kota diguga menjadi biang lahirnya persaingan bauran produk yang tidak terspesialisasi. Sehingga produk-produk yang ada saat ini cenderung monoton, akibatnya, banyak juga destinasi wisata yang kurang laku di pasar wisata. Karena wisatawan jenuh dengan daya tarik wisata yang sama, mungkin dalam benaknya akan berkata, “Membosankan, kok cuma begitu-begitu saja.”
Beberapa pengelola destinasi wisata di berbagai daerah mulai menyadari adanya kejenuhan produk-produk wisata seperti diatas. Oleh karena itu, beberapa pengelola mulai berinisiatif untuk menyajikan konsep wisata yang berbeda dari sebelumnya. Salah satu konsep kegiatan wisata yang termasuk baru adalah destinasi taman bertema edukasi. Konsep taman bertema edukasi mengharapkan adanya kegiatan wisata yang bernilai plus, selain berwisata juga dapat tambahan ilmu baru.
Taman bertema atau theme park dijelasakan sebagai sebuah konsep atau atraksi wisata berupa wahana hiburan di suatu lokasi yang didekorasi dan didesain untuk mencerminkan satu tema tertentu (Lukas, 2008). Taman bertema adalah “tempat” otentik yang menggantikan kekuatan hyperspace yang abstrak dan ageographical Cyburbs dan secara imagistical dari kenyataan yang lebih dari yang nyata (Matthews & Boyns, 2001)Secara hukum, penyelenggaraan taman bertema telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, Pasal 17 Ayat 2 G tentang penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi dengan subjenis usaha taman bertema.


Wisata Edukasi
Peserta dalam Aktifitas Wisata Edukasi
Menurut Lukas (2008), taman bertema dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu :
1.    Adventure park atau extreme park, berciri khas petualangan seperti arung jeram, panjat tebing
2.    Futurism (teknologi dan kecanggihan), tema kecanggihan atau teknologi yang diangkat
3.    International, ciri khas replika bangunan-bangunan dunia
4.    Nature (alam), berciri khas hewan, pemandangan indah, laut, taman, flora
5.    Fantasy (dunia maya), mempunyai ciri khas animasi, tokoh kartun, pertunjukan sulap, taman bermain anak
6.    Movies (film), tema ini jelas mengangkat sebuah film khususnya layar lebar ke dalam sebuah taman bertema.
7.    Underwater atau waterpark (Rekreasi air)
8.    Sejarah dan Budaya, tema ini berisikan sejarah dan budaya dari negara sendiri atau negara lain.
Pengembangan destinasi merujuk pada taman bertema, hendaknya mewujudkan kesemuaannya, sebagai tempat suatu simulasi. Taman bertema memiliki 6 karakteristik yaitu sebagai berikut :
1.    Theme park as oasis (sebagai sumber ketenangan), taman bertema menciptakan rasa ketenangan seakan manusia berada di dunia lain yang lebih indah
2.    Theme park as land (sebagai dunia impian), taman bertema diidentikkan dengan dunia impian.
3.    Theme park as machine (sebagai mesin wahana), taman bertema sendiri adalah sebuah mesin besar; satu yang tersusun dari bermacam kendaraan, peralatan mekanik, subsistem, proses dan pertunjukkan yang menjadikannya sebagai sistem yang fungsional.
4.    Theme park as show (sebagai pertunjukan), arsitektur selalu dipertunjukkan tapi jika berkaitan dengan taman bertema, pertunjukan adalah fungsi utamanya.
5.    Theme park as text (sebagai bacaan/cerita), saat taman bertema menjadi sebuah bacaan, penceritaan menjadi berlipat ganda, penulisnya tidak lagi sebagai bosnya dan seseorang yang menjadi pusat perhatian dulunya, tapi sebagai taman bertema itu sendiri
6.    Theme park as brand (sebagai merk), pada zaman ini perubahan yang paling signifikan dari taman bertema berkaitan dengan merk.
Kunci sukses pengembangan destinasi wisata terletak pada persoalan pengemasan daya tarik wisata. Sejauh mana daya tarik wisata yang ditawarkan memiliki keunikan, keindahan, keaslian, dan nilai yang dapat mempengaruhi kepuasan wisatawan sehingga berdampak pada loyalitas pengunjung (Hermawan, 2017bWiradiputra & Brahmanto, 2016). Selain itu, diperlukan juga pengemasan daya tarik wisata untuk lebih menonjolkan sisi keunikan destinasi sebagai nilai jual (Ainurrahman, 2010), disertai dengan perencanaan pariwisata yang berkelanjutan.
Dalam kegiatan taman bertema edukasi, wahana permainan maupun fasilitas pendukung yang tersedia hendaknya tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata, tetapi diharapkan mengandung unsur nilai edukasi yang sesuai dengan konsep atau tema yang diangkat menjadi daya tarik wisata (Kusumawardani & Hermawan, 2017).
Baca juga manajemen keselamatan wisata
Dalam mewujudkan taman wisata bertema edukasi, Anukrati Sharma (2015) mengusulkan kombinasi antara kegiatan pembelajaran secara tutorial dengan kegiatan eksplorasi di tempat. Tahapan dalam model ini diawali dengan kegiatan pembelajaran tutorial, yaitu wisatawan diberikan bekal pengetahuan dasar mengenai berbagai hal yang terdapat di objek, kemudian dilanjutkan dengan peningkatan pemahaman wisatawan melalui kegiatan eksplorasi secara langsung di tempat. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut :

Model Wisata Edukasi
Model Wisata Edukasi

Tutorial Learning
Tutorial adalah bimbingan pembelajaran dalam bentuk pemberian bimbingan, bantuan, petunjuk arahan dan motivasi agar para siswa belajar secara efisien dan efektif. Pengapliaksian konsep pembelajaran tutorial dapat dimulai dengan mempersiapkan konten-konten informasi apa saja yang ingin disampaikan kepada wisatawan, konten informasi tersebut harus jelas dan mudah dipahami oleh wisatawan.
Misalnya, apabila isu tentang Budaya Belanda sebagai daya tarik utama maka pengelola dapat mempersiapkan berbagai konten informasi yang terkait dengan Negara Belanda.  Langkah-langkah dalam pembelajaran tutotial dapat dilakukan melalui :
1.      Menyampaikan pengetahuan dasar mengenai Negara belanda kepada wisatawan, konten informasi tersebut bisa berupa sejarah, sapaan atau perkenalan dalam bahasa belanda, budaya maupun adat istiadat yang terdapat di Belanda, dan berbagai hal lainya yang menjadi ciri khas dari Negara belanda.
Jika terkait alam atau outbond maka informasi yang disiapkan bisa mengenai: nama nama spesies flora, fauna, batuan dll; fenomena terbentuknya; dan fungsi ekologis antara/ masing-masing.
2.      Dalam upaya untuk menciptakan proses kegiatan belajar yang aktif, maka pengelola harus mampu menyediakan pemandu yang atraktif dan komunikatif, yaitu seorang pemandu yang mampu memancing respon dan minat wisatawan untuk diskusi maupun bertanya, sehingga  proses kegiatan pembelajaran tidak berjalan hanya searah saja. Terdapat beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam kegiatan memandu wisatawa, diantaranya: (a) Kemampuan untuk mengungkap kebenaran melalui informasi yang dimiliki; (b) Pemanfaatan informasi untuk menunjukkan keterkaitan antar objek yang sedang diinformasikan kepada para pengunjung. Keterkaitan ini berbeda untuk kelompok pengunjung yang berbeda, misalnya antara anak-anak dengan manusia dewasa, atau antara wisatawan Jepang dengan wisatawan Eropa atau domestik. Mengkaitkan sesuatu yang ditafsirkan dengan keseharian kelompok pengunjungnya; (c) Kemampuan untuk membujuk agar pengunjung menjadi tertarik, melalui keterampilan dan media komunikasi untuk menarik perhatian. Interpreter harus memiliki pemahaman tentang ketertarikan (interest) pengunjung; (d) Menyampaikan penafsiran secara utuh, tidak memberikan kesan bahwa kita hanya sekedar tahu tetapi paham betul tentang apa yang sedang ditafsirkan.
3.      Untuk menunjang kegiatan pembelajaran yang menarik, maka pengelola wisata dapat menambahkan media pendukung, seperti: wahana yang sesuai, gambar, foto atau ilustrasi, dan lain sebagainya, sehingga mampu meningkatkan pemahaman wisatawan mengenai informasi yang disampaikan.

Eksplorasi Tempat
Tujuan dari metode eksplorasi ini adalah agar pengunjung mengenal dan melihat secara langsung objek yang disampaikan dalam pembelajaran tutorial. Dalam menunjang kegiatan pembelajaran eksplorasi, maka terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pengelola diantaranya :
  1. Menciptakan sirkulasi alur pergerakan wisatawan, yaitu pengelola wisata mengarahkan pola pergerakan wisatawan, dimulai dari mereka masuk sampai mereka keluar destinasi. Tujuan dari sirkulasi ini adalah untuk  menciptakan pergerakan wisatawan yang tertib dan lancar, wisatawan diarahkan untuk mengeksplorasi seluruh tempat dan fasilitas yang terdapat di dalam area destinasi. Konsep sirkulasi adalah membagi jalur sirkulasi berdasarkan kegunaanya (Simon, 1983).
  2. Menyediakan fasilitas untuk menunjang kegiatan wisata edukasi di destinasi. Pengelola wisata dapat menyediakan papan informasi di berbagai lokasi area objek untuk menunjang kegiatan pembelajaran, papan penunjuk arah wisatawan, atau media lain yang mampu mempermudah wisatawan dalam memahami konten pengetahuan yang disampaikan. Fasilitas wisata adalah segala sesuatu yang bersifat melayani dan mempermudah kegiatan atau aktivitas pengunjung yang dilakukan dalam rangka mendapatkan pengalaman rekreasi (Marpaung, 2002).
Kesimpulan yang dapat diambil bahwa wisata bertema edukasi merupakan suatu konsep pengelolaan kepariwisataan yang memadukan antara kegiatan wisata dengan kegiatan edukasi. Tujuan dari konsep ini agar wisatawan mendapatkan pembelajaran secara langsung melalui kegiatan wisata di destinasi wisata. Semuga artikel yang diambil dari intisari laporan kegiatan pengabdian masyarakat oleh (Hermawan, dkk., 2018) dan (Priyanto & Syarifudin, 2018) ini bermanfaat.

Sumber 
Ainurrahman. (2010). Wisata Berbasis Komunitas. Karsa18(2), 136–146.
Hermawan, H. (2016). Dampak Pengembangan Desa Wisata Nglanggeran Terhadap Ekonomi Masyarakat Lokal. Jurnal Pariwisata3(2), 105–117.
Hermawan, H. (2017). Pengaruh Daya Tarik Wisata, Keselamatan dan Sarana Wisata Terhadap Kepuasan serta Dampaknya terhadap Loyalitas Wisatawan : Studi Community Based Tourism di Gunung Api Purba Nglanggeran. Wahana Informasi Pariwisata : Media Wisata15(1), 562–577.
Hermawan, H., Brahmanto, E., Priyanto, R., Musafa, & Suryana. (2018). Upaya Mewujudkan Wisata Edukasi Di Kampung Tulip Bandung. JURNAL ABDIMAS BSI : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat1(1), 53–62.
Kusumawardani, I. P., & Hermawan, H. (2017). Kajian Tema Wisata Edukasi di Sindu Kusuma Edupark dari Perspektif Pemasaran Pariwisata. Open Science Framework.
Lukas, S. A. (2008). Theme Park. Reaktion Books.
Marpaung, H. (2002). Pengantar Kepariwisataan. Bandung: Alfabeta.
Matthews, M. D., & Boyns, T. (2001). A Schedule of the Lyndall Fownes Urwick Archive. The Management College, Henley.
Priyanto, R., & Syarifudin, D. (2018). Perancangan Model Wisata Edukasi Di Objek Wisata Kampung Tulip. JURNAL ABDIMAS BSI: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat1(1), 40–46.
Simon, J. O. (1983). Landscape Architecture. McGraw-Hill Book Co, NewYork.
Statistik Kepariwisataan. (2015). D.I. Yogyakarta Indonesia: Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Retrieved from http://visitingjogja.web.id/assets/uploads/files/bank_data/Buku_Statistik_Kepariwisataan_DIY_2015_05092016040516.pdf, diakses 5 Juni 2017
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Sekretariat Negara. Jakarta § (2009). Indonesia.
Wijayanti, A. (2017). Analisis Dampak Pengembangan Desa Wisata Kembang Arum Terhadap Perekonomian Masyarakat Lokal. Tesis. Sarjana Wiyata Tamansiswa Yogyakarta.
Wiradiputra, F. A., & Brahmanto, E. (2016). Analisis Persepsi Wisatawan Mengenai Penurunan Kualitas Daya Tarik Wisata terhadap Minat Berkunjung. Jurnal Pariwisata3(2), 129–137.
Yahya, A. (2015). Sambutan Menteri Pariwisata R.I. pada Peringatan World Tourism Day dan Hari Kepariwisataan Nasional. Retrieved from http://kemenpar.go.id/asp/detil.asp?c=125&id=2975